Tuesday, January 22, 2008

Merger Bursa Bukan Soal Tren

Abraham Runga Mali

Di penghujung tahun 2006, sebuah keputusan penting terjadi di industi pasar modal dalam negeri, yaitu merger antara BEJ dan BES. Kendati realisasinya baru tahun depan, keputusan ini merupakan puncak dari sebuah proses yang melelahkan.

Benar, bahwa bursa di Indonesia tak dapat menghindari tren penggabungan bursa yang terjadi di tingkat global. Tengoklah apa yang terjadi di negara tetangga. Filipina, misalnya, telah menggabungkan dua bursa, yaitu Manila Stock Exchange dan Makati Stock Exchange, pada 1992.

Kejadian serupa juga terjadi di Malaysia dengan menggabungkan Kuala Lumpur Stock Exchange dan Kuala Lumpur Options and Financial Futures Exchange, pada 2004.

Penggabungan bursa antarnegara terjadi di Eropa. Pada September 2000 tiga bursa besar di Eropa saling bergabung, yaitu Stock Exchange of Paris, Amsterdam, dan Brussels dengan membentuk Euronext.

Pada akhir 2004, Deutsche Bourse AG menghentikan pembicaraan yang sudah berjalan empat tahun untuk melakukan merger dengan London Stock Exchange.

Euronext pada April 2006 sempat terlibat diskusi untuk melakukan merger dengan London Stock Exchange, meskipun rencana itu tidak berlanjut.

Terakhir, Deutsche Bourse pada awal November 2006 membatalkan penawarannya untuk membeli Euronext. Hingga saat ini Nasdaq Stock Market Inc diketahui mengincar Euronetx maupun London Stock Exchange (LSE). Pada 21 November, Nasdaq mengajukan penawaran untuk membeli LSE senilai US$5,3 miliar

Bukan soal tren

Tentu saja, bagi kita, merger BEJ-BES bukan hanya persoalan mengikuti tren. Ada kebutuhan mendasar untuk menciptakan sebuah bursa yang kuat.

Maka sangat diharapkan agar setelah keputusan merger pada rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) BES, 5 Desember yang lalu, bursa di tanah air benar-benar bisa menjadi kuat.

Untuk menciptakan bursa yang kuat, seperti dilontarkan dalam rapat pemegang saham itu, terdapat beberapa poin yang harus diperhatikan dalam merger, yaitu ada nilai lebih buat karyawan, unit bagi hasil wajib dikembalikan secara maksimal, dan pemegang saham harus mendapat nilai maksimal dari merger.

Selain itu, emiten juga harus mendapatkan pelayanan lebih dari bursa hasil penggabungan dan semua produk yang sudah ada di BES tetap dilanjutkan dan tidak boleh dihentikan.

Singkat kata, bursa gabungan harus mampu meningkatkan kinerjanya, menaikkan kapitalisasi pasar serta dapat bersaing dengan bursa lain di kawasan regional dan global.

Untuk menumbuhkan daya saing itu maka rencana untuk menciptakan bursa sebagai institusi yang bermotif profit (demutualisasi bursa) harus segera direalisasikan setelah penggabungan dilakukan.

Sampai sekarang, demutualisasi tidak bisa dilakukan karena memang tidak diziinkan oleh UU tentang Pasar Modal. Namun hal itu masih bisa terjadi pasca merger, asalkan UU telah menyetujuinya.

Merger bukan merupakan kata akhir. Dia baru sebuah langkah awal menuju bursa yang kuat. Institusi bursa yang kuat diharapkan bisa mengoptimalkan semua potensi yang dalam negeri. Mulai dengan sosialisasi agar semakin banyak orang paham bahwa pasar modal itu adalah alat yang bisa dipakai untuk membiayai pembangunan.

Bukan mengada-ada kalau sampai saat ini sosialisasi bursa masih sangat rendah. Lihat saja apa sudah sudah dicapai. Jumlah pemodal lokal masih sangat kecil. Bayangkan saja kalau pemodal lokal yang bermain di bursa hanya berjumlah sekitar 600.000 dari 250-an juta penduduk Indonesia. Hanya segelintir orang ini saja yang mengambil keuntungan dari hingar bingarnya pasar modal dengan indeksnya yang terus meroket.
Begitu juga jumlah perusahaan yang go public dan memanfaatkan dana dari pasar modal pun masih sangat sedikit. Jumlah perusahaan yang listing hanya 344, segelintir dari ribuan perusahaan di negeri ini. Tahun ini saja hanya 12 perusahaan yang melakukan IPO dengan total dana yang diraup hanya Rp3,040 triliun. Masih jauh panggang dari api!

No comments: