Tuesday, January 22, 2008

Ketika Perempuan tak Gampang Kaya

Abraham Runga Mali

Ada begitu banyak mitos dan pandangan yang menjelaskan hubungan antara uang dan perempuan. Misalnya, perempuan itu pemboros. Tapi, di lain kesempatan, kaum perempuan disebut sebagai menteri keuangan rumah tangga yang baik. Penjelasan-penjelasan itu bisa saling bertentangan. Dan itu bisa dipahami, karena hubungan antara seorang perempuan dengan uang sama rumitnya dengan hubungan-hubungan lain dalam hidupnya. Sebuah kerumitan yang layak disimak saat kita mengenang seorang tokoh perempuan yang bernama Kartini.

Perencana keuangan Mike Rini menjelaskan bahwa hubungan antara wanita dan uang itu sangat dilematis. Ada konflik, jelas dia, antara nilai-nilai lama dengan tuntutan perkembangan zaman. "Di satu pihak para wanita mengganggap bahwa mencari nafkah itu bukan tugas utama mereka, tapi di pihak lain wanita harus dituntut untuk mengaktualisasi diri melalui bekerja di luar rumah."

Konflik itu sering berdampak secara sosial dan psikologis. Secara umum, kesempatan bekerja yang sebelumnya hanya diberikan kepada kaum lekaki, kini harus berbagi dengan para wanita. Pada level keluarga, hubungan pria dan wanita sebagai suami-istri juga mengalami guncangan. Banyak pria yang menjadi inferior karena para istri mereka mendapatkan uang yang lebih banyak.

Di lain pihak, jelas Mike, banyak juga kaum wanita yang menjalankan dua peran ini dengan setengah hati. Berbagai konflik peran ini, demikian Mike, tidak jarang menjadi alasan keributan dalam kehidupan rumah tangga.

Apapun hubungan antara wanita dan uang, kenyataan memperlihatkan bahwa peran wanita membawa perubahan yang luar biasa bagi kehidupan masyarakat. Michael Silverstein dalam wawancara dengan Business Week Online mengatakan bahwa peran wanita yang semakin kuat dan dominan dalam membelanjakan uang, sangat menentukan pesatnya kemajuan industri ritel.

Silverstein, direktur Boston Consulting Group yang ikut menulis Trading Up: the New American Luxury, menjelaskan bahwa kemajuan industri berbasis rumah tangga dan berkembangnya cara hidup mewah dalam masyarakat tak terlepas dari peran wanita. Karena saat ini, wanita tidak hanya semakin banyak bekerja, tetapi juga memiliki penghasilan yang jauh lebih besar dari pria.

Menurut penelitian Boston Consulting Group, di Amerika Serikat saat ini terdapat 55 juta wanita yang bekerja. Dan, sedikitnya 25 persen dari mereka yang memiliki penghasilan yang lebih tinggi dari lawan jenisnya. Dalam wawancara yang bertajuk How a Woman Spends Her Money, Silverstein juga menjelaskan bahwa terjadi pertumbuhan kesejahteraan yang besar dalam keluarga sejak 1972 hingga 2003. Dan pertumbuhan itu, jelas dia, 100 persen berasal dari pendapatan yang dihasilkan oleh para wanita.

Wanita dan kekayaan

Kendati makin banyak perempuan yang sudah menghasilkan uang dan makin dominan mereka dalam membelanjakan uangnya, sementara orang menilai peran kaum Hawa ini mestinya masih bisa dioptimalkan. Salah satu yang menghambat peran kaum perempuan ini adalah pandangan dan pendidikan yang keliru soal hubungan mereka dengan uang.

Louis P. Frankel adalah orang yang berbicara lantang soal ini. Dalam bukunya yang belum lama diluncurkan, Nice Girl Don't Get Rich: 75 Kesalahan Perempuan dalam Mengelola Uang (2006), dia mengatakan ada tiga sebab mengapa perempuan tidak menjadi kaya.

Pertama,para perempuan tidak mempunyai visi untuk menjadi kaya, kedua, perempuan lebih menaruh perhatian pada memainkan peran sosial yang dianggap pantas, dan ketiga, kaum perempuan tidak membangun ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan untuk bisa mengambil keputusan finansial secara bijaksana.

Menurut Frankel, ketiga hal tersebut tidak terlepas dari pendidikan dalam masyarakat. Sejak kecil perempuan tidak diarahkan untuk mengejar kekayaan. Bahkan, dia sendiri sejak kecil mengalami diskriminasi pendidikan dibandingkan saudaranya yang laki-laki. Hasilnya pun tentu berbeda.

"Sementara mereka berpikir tentang mencari uang, saya berpikir tentang hidup baik."

Frankel mencatat sejumlah pesan dan sikap yang menyesatkan bagi para perempuan itu. Dia mengatakan uang itu adalah kekuatan, dan kebanyakan gadis kecil tidak diajari untuk menjadi kuat-mereka diajari untuk bersikap manis. Selain itu gadis-gadis itu diajari untuk menjadi penjaga, pengasuh dan pelengkap dalam masyarakat-tidak perlu menjadi pencari nafkah.

Lalu sebagai pengasuh dan penjaga anak, perempuan sering kali bekerja secara terputus-putus dan akhirnya terkena sanksi dari perusahaan. Karena itu mereka turun kelas dan kembali ke jalur 'ibu rumah tangga'.

Frankel memberi catatan lain tentang kebiasaan sosial lain yang tidak kondusif bagi perempuan yang berambisi menjadi kaya. Kaum perempuan, kata dia, tampaknya lebih menggunakan penghasilan mereka untuk kepentingan anak-anak dan rumah tangga, sedangkan laki-laki cenderung memikirkan investasi.

Selain itu, mereka sungkan meminta upah, fasilitas, atau kenaikan gaji yang sepadan dengan nilai tambah yang mereka berikan kepada perusahaan karena merasa tidak yakin bahwa mereka pun pantas mendapatkannya.

Mungkin masih banyak daftar kesalahan pendidikan atau kebiasaan sosial yang menghambat perempuan untuk kaya. Atau dengan ungkapan lain Frankel mengatakan banyak karakteristik perempuan yang membuat mereka feminin, tetapi pada saat yang sama justru itu menjadi perilaku yang menghambat mereka untuk mencapai kemandirian finansial.

Tapi, tentu saja kebiasaan dan karakter sosial perempuan itu bukan penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Lagi pula, tidak perlu kehadiran tokoh sekelas Kartini untuk menyuarakan perubahan ini.

Kaum perempuan, demikian Frankel, hanya cukup mengubah fokus pandangan dan paradigma hidupnya.

"Artinya, apa yang menjadi fokus kita, itulah yang akan kita dapat. Dan, kinilah saatnya untuk memfokuskan diri supaya menjadi kaya."

No comments: