Monday, January 21, 2008

Kebebasan Finansial Vs Kebebasan Spiritual

Oleh Abraham Runga Mali

Senin sore, 6 Juni 2005. Bertemu Louis Tendean, pekerja nomor satu MLM Indonesia. Nomor satu karena dia memiliki penghasilan paling tinggi. Louis sudah berhasil membangun jaringan sebanyak 500.000 orang. Dari jaringan itu dia meraup 500 sampai 700 juta per bulan.
Dengan orang seperti Louis, pertemuan pasti meninggalkan banyak makna. Makna sebuah ethos kerja, makna kesuksesan dan makna uang. Seperti menggali makna dari sebuah sumur yang dalam. Tentang Louis masih banyak yang bisa dibicarakan
Tak usah diceritakan lagi tentang aset yang sudah dibeli Louis dari uang yang dikumpulkan dari hasil kerja membangun jaringan. Ada rumah dan mobil mewah, ada deposito dan masih banyak yang lain. Tak terlalu banyak manfaat mengetahui semua isi kekayaannya.
Sekarang ini, pekerjaan Louis sehari-hari hanyalah menerima tamu, membagi pengalaman dan memberi motivasi. Hanya berkata-kata. Tapi, justru kata-katanya itu melipatgandakan uang. Karena dengan kata-katanya, makin banyak orang terpikat pada cara kerja jaringan. Jaringan bekerja, dan kembali lagi uang Louis berlipatganda.
Cerita tentang kebebasan finansial menjadi kenyataan dalam dirinya. Uang berkerja untuk dirinya. Dia tak perlu lagi berpusing-pusing urusan duit. Uang ada di sana untuk dirinya.
Tentu saja, untuk sampai ke sana, prosesnya panjang dan melelahkan.Dia sudah bekerja secara cerdas. Dia tidak menghabiskan waktu bertahun-tahun di sebuah perusahaan. Dia berbisnis dan membangun net working. Itulah rahasianya. Bukan jabatan, karier yang membuat orang menjadi kaya. Tapi, jaringan.
Konsep bahwa sekolah harus membuat orang pintar disanggahnya. Orang bersusah paya di sekolah, tapi orang itu tidak belajar apa pun mengenai uang. Akhirnya, ketika orang itu bekerja, tiap penghasilan habis untuk menutupi kewajibannya. Dia selalu mencari-mencari uang, tapi uang serasa tak pernah mencukupi. Pikiran dan tenaganya disita untuk uang. Dia terkungkung oleh uang.
Louis punya keyakinan yang lain. Kebenaran kebebasan finansial yang diperkenalkan Robert T Kiyosaki dia yakini. Menurut Kiyosaki, ketika seseorang bekerja cerdas dengan membangun jaringan, pada saatnya uang akan bekerja untuk dirinya. Ada passive income di sana. Uang terus mengalir dan orang itu akhirnya bebas dari kesulitan finansial. Dia menjadi bebas.
Tentang kebebasan finnsial, penulis keuangan Suze Orman memperjelas makna kebebasan finansial. Dalam bukunya The 9 Steps to Financial Freedom, Suze berlangkah lebih maju dari Kiyosaki. Dia melengkapi pengertian kebebasan finansial dengan pendekatan psikologis.
Kalau Kiyosaki berbicara tentang kekayaan di mana orang bebas dari ‘kesulitan-kesulitan’ finansial (baca: kemiskinan), Suzi malah lebih dari itu berbicara tentang keadaan di mana orang memang harus ‘bebas dari uang’ pada saat orang itu memiliki banyak uang.
Dalam keadaan ‘bebas’ seperti itu, demikian Suze, seseroang bisa berkuasa atas uang. Tidak sebaliknya dia diperbudak oleh uang. Menurut dia, inilah makna kebebasan finansial yang sesungguhnya.
Karena ketika orang diperbudak uang, kata dia, orang bisa saja mengorbankan urusan lain yang juga tidak kalah penting. Entah itu kehidupan keluarga, entah itu etika, cinta atau mungkin juga religiusitas. Kiyosaki berbicara tentang ‘kebebasan dari’ kemiskinan, tapi Suzi berbicara tentang ‘kebebasan dari’ kekayaan.
Tentu saja, baik bagi Kiyosaki maupun bagi Suzi, kebebasan finansial berarti kaya, memiliki banyak uang. Uang bukan menjadi persoalan, karena uang itu benar-benar ada. Jadi, bukan sikap ‘bebas dari’ uang sebagai jalan keluar dari ketiadaan uang.
Pada dewasa ini, ketika uang dibutuhkan untuk segala urusan, tak mudah memahani orang bisa menjadi bebas ketika tidak memiliki uang.
Andaikan saja ada orang bisa bebas tanpa uang, maka ada dua keadaan dimana orang bisa mengalami kebebasan finansial. Pertama, orang bisa berkuasa atas uang, orang tidak diperbudak oleh uang karena memang dia tidak memiliki uang (baca: miskin). Keadaan kedua adalah keadaan dimana seseroang tidak diperbudak oleh uang kendati dia memiliki banyak uang. Tentu dalam dua kondisi itu, seseroang bebas ‘dari uang’.
Tapi, akan menjadi lain ketika kita bertanya untuk apa kebebasan itu. Bebas untuk apa? Katakanlah mereka ‘bebas untuk’ mengembangkan diri dan berbuat baik kepada sesama. Tentu saja, orang kedua akan lebih optimal mengakutalisasi kebebasan. Karena memiliki banyak uang, dan dia tidak terikat oleh uang, uang itu bisa digunakan untuk membelanjakan apa saja yang diperlukan untuk pengembangan diri dan membeli apa saja yang bisa dibagikan kepada sesama yang membutuhkan.
Orang pertama, juga berpotensi ‘bebas untuk’ melakukan hal yang sama. Tapi, asal tahu saja potensi kebebasan tak pernah menjadi kenyataan karena karena selalu terbentur pada persoalan uang. Niat baik untuk membantu sesama seperti meningkatkan kesejahteraan dan membangun kecerdasan untuk mengekspresikan kebebasan hanya tinggal sebagai niat baik dan wacana. Susah menjadi kenyataan.
Itulah sebabnya tak perlu diherani kalau Louis enteng berbicara tentang kedermawanannya. Dia terlibat dalam proyek pembangunan gereja, mesjid dan menolong suksesnya program-program kemanusian. Benar kata kebijaksanan Romawi kuno, nemo dat quod non habet. Anda tidak bisa memberi dari apa yang tidak Anda punyai.
Tinggal sejengkal lagi orang melangkah dari kebebasan finansial menuju kebebasan spiritual. Seroang penulis spiritualitas Robert Sardello mengakui tidak mudah mengartikan kata ini. Yang pasti menurut dia, kebebasan menjadi relevan diperjuangkan manusia karena dia adalah makhluk rohani. Roh itu bebas, maka kebebasan harus dimilikinya.
Kendati susah mencari pengertian yang sama tentang kebebasan spiritual, banyak ahli spiritualitas sepakat bahwa konsep itu menjelaskan tentang kematangan seorang pribadi dalam seluruh dimensinya. Sebuah kebebasan yang sejati. Dia menjadi pribadi yang seimbang dan memgembangkan semua potensi yang ada pada dirinya.
Mementing hal-hal spiritual, tetapi tidak mendewa-dewakannya. Mengakui pentingnya hal-hal duniawi, tetapi tidak diperbudak oleh materi. Mementingkan uang, tapi seolah-olah tidak memiliki uang. Dia menjadi pribadi yang terbuka, tidak egois. Bahkan, cinta, menolong sesama dan menyadari dirinya sebagai pengembara fana di tengah dunia adalah jalan menuju kebebasan itu.
Dia tidak hanya ‘bebas dari’ kungkungan nilai atau kepentingan-kepentingan tertentu, tetapi ‘bebas untuk’ mengembangkan semua potensi yang ada dalam dirinya sehingga memberi arti bagi dirinya dan sesamanya. Kalau begitu, oang yang mengalamai kebebasan finansial sudah sangat dekat dengan kebebasan spiritual.

No comments: