Sunday, January 20, 2008

Moralitas Wall Street

Abraham Runga Mali


Gordon Gekko, investor di bursa Wall Street, tampil bak ular pengoda di Taman Eden. Sebagai pemeran utama dalam film yang disutradarai Oliver Stone itu, Gekko menjadi sisi gelap di pusat keuangan dunia itu. Dia menjadi simbol kejahatan.
Kejahatan Gekko bisa dilacak hingga akar moralitasnya, yaitu sebuah ilusi tentang uang. Uang itu, demikian Gekko tidak diciptakan, dan juga tidak hilang. Dia hanya berubah dari satu persepsi persepsi yang lain. Sebagai contoh, Gekko mengambil tentang lukisan yang semula dibelinya dengan harga 60 ribu dolar dan kemudian dijual dengan harga 600 ribu dolar.
“Ilusi telah menjadi nyata, dan semakin nyata ilusi itu, semakin nekat orang menginginkannya,” demikian Gekko mengeraskan keyakinannya yang menjiwai jalan cerita dalam film yang berjudul Wall Street itu.
Film itu diluncurkan 3 Desember 1987, tepat 44 hari setelah salah satu hari terburuk (19 Oktober) yang pernah terjadi dalam sejarah New York Stock Exchange. Dengan film itu, Oliver mau menggambarkan kejayaan pasar modal di satu pihak, dan ketakutan para pelakunya di pihak lain.
Pasar modal yang merupakan simbol kejayaan kapitalisme selalu dibayangi oleh tipu muslihat, kelicikan dan keserakahan pera pelakunya. Pasar itu memberi keuntungan, tetapi juga menghisap mereka yang tidak konsisten menghayati moralitas yang diusung Gekko.
Perhatikan pidato Gekko di depan dewan direksi saat dia hendak mengakusisi perusahaan TELEDAR. “Hukum baru dalam perusahaan Amerika nampaknya adalah kelangsungan hidup dari yang paling kuat. Dalam agenda saya, baik Anda berbuat baik atau mengabaikannya…Yang terpenting adalah, tuan-tuan dan nyonya-nyonya, bahwa keserakahan, karena tidak ada kata yang lebih tepat, adalah kebaikan. Keserakahan adalah benar. “
Ilusi dan kenekatan Gekko dalam mengejar uang melahirkan keserakahan. Itulah panglimanya. Di Wall Street keserakahan tidak hanya harus dilengkapi dengan tipu muslihat, tapi juga kecerdasan. Gordon memang cerdas. Bayangkan, hanya 30 detik setelah Chalenger meledak, dia berada di telpon dan meminta para pialang melepas saham-saham NASA yang dimilikinya.
Gekko yang kaya, cerdas dan penuh tipu muslihat itu diam-diam menjadi idola seorang pialang muda, Bud Fox. Dia berambisi menjadi hebat dengan mengikuti jejak Gekko. Kendati dengan demikian dia harus menanggalkan semua masa lalunya, termasuk cara hidup dan nilai-nilai yang ditanam oleh keluarganya. Dia menjadi pegawai Gekko.
Sebenarnya dia berasal dari keluarga kelas pekerja yang sangat menghargai kejujuran dan kerja keras. Tapi, di hadapan pahlawan dan idolanya Gekko, dia harus ikut mempelajari bagaimana caranya menggelapkan surat-surat berharga dan bagaimana mencari keuntungan yang besar di lantai bursa kendati harus melanggar peraturan dan undang-undang.
Tindakan itu membuat Fox sangat kaya. Terutama setelah dia dan Gekko melakukan insider trading saham penerbangan Bluestar dengan menyerap informasi dari ayahnya sendiri, Carl Fox yang bekerja di perusahaan tersebut.
Pada bagian akhir film itu, Fox di bawah pengadilan oleh ayah dan ibunya sendiri. Kepada kedua orangtuanya dia menyatakan penyesalan dan dari mereka dia memohon pengampunan. Fox dipenjara, dan ayahnya meneguhkan dia bahwa itulah hukuman yang setimpal atas perbuatannya.
Tentu saja, reaksi atas film tersebut sangat beragam. Tak sedikit yang memuji bahwa film ini memberikan nilai yang positif bagi pasar modal. Tetapi, kaum kapitalis terutama yang diwakili para pedagang dan pialang di Wall Street menganggap film itu terlalu mengada-ada dalam mengeritik moralitas dagang kaum kapitalis.
Stone, kata mereka, mengajukan sebuah gugatan fiktif seolah-olah di bursa hanya ada para koruptor. Padahal di sana ada hukum, peraturan dan juga ada SEC (Securities and Exhange Comission) sebagai regulator dan pengawas. Bursa tak selalu identik dengan uang haram. Di bursa juga ada kerja keras dan kejujuran. Nilai-nilai yang positif itu bukan hanya milik para pekerja.
Benar, bahwa film mengekspolitasi habis keserakahan kapitalisme. Tapi sekaligus mengingatkan bahwa masih ada nilai yang murni, yang belum tercemar oleh keserakahan. Kemurnian itu digambarkan dalam diri Carl, seroang pekerja yang menghasilkan 47 ribu dolar lebih dalam setahun.
Ada nostalgia dan kerinduan pada sosok manusia sejati, yaitu mereka yang bekerja dengan tangannya. Mereka yang tidak hanya mencari untung dengan menjual atau membeli milik orang lain. Apalagi mereka menipu dan memanipulasi untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.
Tentu saja kerinduan akan sosok ideal seperti itu harus bertarung dengan ilusi akan uang. Ilusi dan harapan yang berlebihan bahwa uang akan menjadi solusi hidup manusia. Uang menggantikan sebagian bahkan semua peran Tuhan dan agama. Uang adalah segalanya, dan semua yang lain harus dikorbankan.
Dalam film Wall Street itu, demikian interpretasi Norman K. Denzin, terkuak bagaimana ideologi kapitalis itu memerangkap Bud Fox. Gekko yang yang sudah menghayati dan menjiwai ideologi itu datang untuk ‘mencuri’ jiwa dan jati dirin Fox. Dan, Fox pun tenggelam dalam kekayaan pemikiran dan materi yang diberikan Gekko kepadanya. Untuk sementara Fox diterima oleh posisi ideologis tersebut. Walaupun kemudian, dia menyesali dan mohon ampun.
Oliver Stone mengakhiri ceritanya dengan pertobatan Fox. Bagaimakah Gekko? Dia telah mengamini keserakahan sebagai kebenaran. Untuk orang-orang seperti ini, apakah masih relevan berbicara soal penyesalan, pertobatan dan mohon ampun. Bagi dia, berbalik dari keserakahan bukannya pertobatan, tapi dosa.
Begitulah realitas hidup dan peradaban manusia jaman ini. Korupsi dan kejujuran, keserakahan dan hidup ‘tahu batas’ hadir bersama di lantai bursa. Wall Street, simbol tempat manusia bekerja, berkeringat dan berilusi tentang uang adalah arena kehidupan kita sehari-hari. Wall Street dengan moralitas yang kacau dan penuh paradoks. Terbuka banyak pilihan.

No comments: