Monday, January 21, 2008

Indeks 2.000 dan Reshuffle Kabinet SBY-JK

Oleh Abraham Runga Mali


Tinggal menghitung hari, indikator perdagangan Bursa Efek Jakarta (BEJ) menembusi posisi 2000. Pada penutupan kemarin, indeks bertengger di posisi 1990…Padahal, dua setengah tahun lalu, menjelang penobatan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) sebagai pemimpin di negeri ini, para analis masih bernubuat tentang kenaikan indeks hingga 1000.
Prediksi saat itu bahwa indeks akan merambat ke posisi 1000 pun sudah cukup mencengangkan. Karena ketika 5 April 2004, saat pemilu tahap pertama digelar, indeks masih bercokol di posisi 750.652. Saat pelantikan saja, indikator perdagangan BEJ berada pada posisi…..
Dan setelah dua setengah tahun berkuasa, indeks menembus ke level 2000. Itu berarti selama pemerintahan SBY-JK, terjadi kenaikan sekitar 1.300 poin atau sebesar 130%.
Kalau saja Anda menjadi investor yang memperdagangan kontrak berjangka indeks, maka dalam periode tersebut Anda menikmati keuntungan yang luar biasa, jauh melebihi return yang ditawarkan Dressel yang menelan banyak korban itu.
Yang paling demonstratif dalam membuat prediksi kinerja bursa dan ketokohan SBY-JK adalah analis dari JP Morgan. Masih teringat hasil riset sekuritas itu pada edisi 21 April 2004 berjudul Indonesian Stratetgy, SBY + Kalla = This is it!,
Menurut analis itu, kalau SBY-JK terpilih, maka indeks akan melampui 1000. Ternyata bukan hanya sampai ke angka itu. Kepada SYB-JK, indeks berbaik hati dengan menambah 1000 lagi menjadi 2000.
Apakah dengan demikian, prediksi itu menjadi valid? Mari kita periksa dulu alasan di balik deretan angka-angka itu. Paket SBY-Kalla, menurut dia, adalah dua tokoh yang paling ideal dan diterima pasar.
Alasannya sederhana. Kedua figur itu, demikian analis itu, memiliki kemampuan yang saling melengkapi. SBY dinilai memahami dinamika sosial-ekonomi di wilayah barat Indonesia, dan Kalla mengerti tentang kondisi di wilayah timur.Dengan demikian diharapkan keduanya mampu mengorganisir semua potensi dalam negeri yang kemudian dipacu untuk mencapai kemajuan.
Pertanyaannya, apakah SBY-JK berhasil memenuhi harapan pasar itu? Jawaban atas pertanyaan di atas sangat penting untuk memastikan apakah indeks yang merambat naik itu bergerak simetris dengan pergerakan kinerja kedua pemimpin itu. Atau bisa dibuat sebuah rumusan pertanyaan lain, apakah kinerja kepemimpinan SBY-JK demikian optimal sehingga menarik indikator perdagangan ke level itu?
Untuk mengevaluasi SBY-JK, mari kita mulai dari wacana reshuffle yang menjadi wacana paling panas saat ini. Mengapa reshfulle? Alasannya jelas, masyarakat terlanjur tidak puas dengan kinerja pemimpin mereka. Dan merajut perubahan dengan mencopot sejumlah menteri, itu yang paling mungklin dilakukan. Karena SBY-JK tak bisa berhenti begitu saja di tengah jalan.
Terkait reshuffle, persoalan utama bagi SBY-JKbukan pada keberanian dan kemauan. Reshuffle adalah cerminan atas kinerja keduanya. Mengiyakan reshuffle, berarti menegaskan kegagalan perjalanan kepemimpinan keduanya hingga sekarang. Sekurang-kurangnya peristiwa pergantian menteri mengkonfirasi kegagalan SBY-Jk dalam memilih pembantunya (baca: menteri). Atau, kemungkinan lain, SBY-JK gagal mengorganisir mereka.
Pertanyaan lanjutan, kalau keduanya terbukti kurang optimal untuk tidak mengatakan gagal, bagaimana menjelaskan kenaikan indeks yang sangat tajam? Bukankah itu sekaligus menegaskan bahwa kenaikan indeks tak berhubungan dengan kinerja SBY-JK seperti yang diramalkan analis menjelang masa kepemipinan mereka?
Dan kalau disimak, memang ternyata indeks mempunyai jalan ceritanya sendiri.

Keuangan global
Kenaikan indeks lebih banyak bercerita tentang lalu lalang keuangan global yang terus berupaya mengembangbiakkan dananya melalui investasi di bursa. Data-data yang dilansir dari transaksi bursa global membuktikan bahwa pasar modal Indonesia adalah salah satu ladang yang subur bagi perputaran uang miliaran dolar.
Institute of International Finance (IFC) pada awal tahun memperkirakan dana swasta yang siap digelontorkan ke emerging market, termasuk Indonesia pada tahun 2007 encapai US$470 miliar. Angka ini sedikit menurun dibandingkan dengan US$502 miliar pada 2006 dan US$509 miliar pada 2005.
Khusus dana yang diinvestasikan ke portofolio saham tahun ini, jumlahnya diperkirakan sebesar US$63 miliar. Tahun lalu, jumlahnya mencapai US$70 miliar. Dari jumlah tahun 2006 itu, investasi portofolio di China menghabiskan US$32 miliar, dan diperkirakan menurun tahun ini menjadi US$18 miliar.
Bandingkan dengan aliran dana asing yang masuk ke bursa Indonesia (capital inflow) pada tahun lalu yang mencapai US$3,5 miliar. Jumlah tersebut hanya 2% dari total aliran dana yang mengguyur emerging market wilayah Asia. Porsi untuk Indonesia ini masih kecil dibandingkan dengan realisasi sebelum krisis 1997 ketika capital inflow encapai 7%.
Mudah sebenarnya kalau pemerintah Indonesia mau bekerja untuk menarik lebih banyak lagi dana ke bursa Indonesia. Cukup SBY-JK mengingatkan Menneg BUMN Soegiarto agar proses privatisasi, terutama yang melalui IPO (initial public offering), lebih cepat diselesaikan.
Harap dicatat bahwa selama pemerintahan SBY-JK dengan Soegiarto sebagai komandan BUMN, belum satu pun BUMN yang diprivatisasi melalui IPO. Rencana IPO Jasa Marga dan Widya Karya yang sudah lama direncanakan masih terkatung-katung. Konon, masih terjadi tarik menarik kepentingan antara Menneg BUMN dan Komisi XI DPR. Tapi, biarlah SBY-JK yang menilai kinerja para pembantunya.
Yang pasti agak mengherankan bahwa pemerintah SBY-JK yang sangat neoliberal itu mengabaikan privatisasi BUMN. Padahal, IPO BUMN biasanya menjadi pemicu terpenting masuknya portofolio seperti yang pernah terjadi signifikan di China pada 2006.
Apalagi, seperti yang diakui CEO Tempeleton Emerging Markets Fund Inc, Mark Mobius, harga saham-saham di Indonesia terutama saham emiten BUMN yang masuk dalam keranjang investasi Templeton sudah sangat tinggi (over valued). Itulah sebabnya dari US$33 miliar dana yang dikelola Templetom, hanya sebesar US$330 juta (1%) yang ditempatkan di bursa saham Indonesia.
Tapi, sudahlah kinerja ekonomi virtual seperti bursa saham bukanlah harapan utama bagi jutaan raykat Indonesia. Hasil penelitian dua ekonom Perancis, Gerald Dumenil dan Dominique dalam Capital Resurgent,Roots of the Neoliberal Revelolution (2004) menegasakan hal itu. Manfaat perputaran uang di tingkat virtual sangat mimim bagi perkembangan di sektor riil.
Permainan di bidang finansial terkadang laksana gasing yang berputar-putar pada dirinya. Makanya tak perlu diherankan kalau kendati indeks di pasar modal kelihatan tumbuh gagah perkasa, tapi sektor riil tetap merayap penuh susah payah. Itulah ironi yang terjadi di masa pemerintahan SBY-JK.
Kalau demikian, apa yang harus dibuat SBY-JK? Reshuffle? Pertanyaannya, apakah cukup dalam waktu dua tahun orang-orang baru yang akan mengisi kabinet itu mampu memperbaiki kinerja kabinet SBY-JK?
Atau jangan-jangan ini hanya sekadar reaksi tambal sulam untuk merestorasi pencitraan yang merosot di tangan sejumlah lembagai survai? Bukankah tahun depan yang tinggal beberapa bulan lagi, SBY-JK dan para pembantunya itu mulai sibuk melakukan akrobat politik dalam rangka suksesi 2009?
Lalu, dari mana datangnya perubahan kinerja SBY-JK? Hanya keduanya yang tahu. Yang pasti dengan reshuffle, keduanya kembali memberi harapan kepada bangsa ini. Mirip emiten yang menawarkan prospek kepada pemodal di lantai bursa melalui sebuah prospektus. Pemodal—yang menarik keuntungan dari ekonoimi virtual—bisa saja hidup dari prospek. Tapi, orang kebanyakan harus berpijak di atas realitas.

No comments: