Monday, January 21, 2008

Deng, Morales dan Otoritas Pasar Modal Indonesia

Oleh Abraham Runga Mali

JAKARTA: Sejak kemarin, Indonesia Investor Forum ke-2 (IIF) dimulai. Forum pertama digelar pada akhir Juli tahun lalu. Tak perlu membolak-balik surat kabar, masih jelas dalam ingatan, dari tengah forum, para otoritas keuangan dan pasar modal saat itu bertekat mengangkat pasar modal nasional agar bisa bersaing di tingkat Asia Tenggara.
Tak kurang, mereka mencoba mengurai bagaimana merealisasi tekat itu, yaitu mendorong semakin banyak perusahaan Indonesia masuk bursa, lalu pada saat yang bersamaan menggalang semakin banyak pemodal lokal untuk terlibat dalam transaksi saham.
Tentu saja, Anda tak perlu engevaluasi dan bertanya, setelah setahun silam, sudah berapa emiten baru yang mencatatkan sahamnya di bursa, dan berapa banyak pemodal baru yang terlibat dalam permainan saham. Karena mereka—otoritas bursa dan keuangan—akan dengan enteng mengelak, “dalam waktu setahun, Anda tak bisa membuat perhitungan terlalu banyak. Lihatlah dalam lima atau sepuluh tahun ke depan.”
Kalau begitu, cobalah bertanya lagi, mana cetak biru yang dibuat untuk mencapai semua tekat itu? Atas pertanyaan itu, mereka pasti akan bungkam. Kalau tidak percaya, silahkan peserta forum mengacungkan tangan dan bertanya kepada bapak atau ibu pejabat yang dalam satu atau dua hari ini berpidato di depan forum yang terhormat. Cetak biru itu memang belum pernah dibuat. Ada letupan rencana di sana sini seperti memberi insentif pajak kepada perusahaan yang akan go public, mengeluarkan instrumen investasi baru, dan sebagainya. Sayang, rencana-rencana itu tak komprehensif dan tidak dipadukan dalam kesatuan langkah secara nasional.
Tapi, lupakan dulu kelemahan otoritas kita. Persaoalan serupa jamak terjadi di negeri ini. Sekarang, mari kita datang untuk berterima kasih kepada mereka yang berkehendak baik menyelenggarakan lagi forum kedua bagi investor pasar modal. Mengapa berterima kasih?
Sekurang-kurangnya, seremoni ini datang pada saat yang tepat. Pertama, forum diadakan pada saat indeks menembus level di atas 2.000-an. Pada posisi terakhir kemarin, indeks berada di level 2.076,76. Pada tanggal yang sama tahun lalu, indeks berada di posisi 1.500. Dalam periode setahun, terjadi kenaikan 570-a poin.
Kedua, forum terselenggara pada saat wacana tentang bahaya uang panas (hot money) baru saja berlangsung. Kenaikan indeks di Bursa Efek Jakarta (BEJ) yang fantastis itu pun tak terlepas dari derasnya aliran uang panas ini.
Inti yang berkembang dalam wacana tersebut adalah bangsa ini mesti berhati-hati karena jumlah uang jangka pendek milik asing itu sudah berkelimpahan. Menurut data terakhir, uang panas yang diinvestasikan dalam Sertifikat Bank IndonesiaRp45 triliun, Surat Utang Negara Rp77 triliun dan saham Rp5,67 triliun. Dengan jumlah sebesar itu, mereka yang khawatir berpikir, bukan tidak mungkin jurus banting Soros pada 1997 bisa terulang lagi. Dana itu secara serta merta ditarik keluar, maka terulang lagi krisis finansial.
Sementara, mereka yang optimis mengatakan, kondisi sekarang berbeda dari satu dekade yang lalu. Cadangan devisa (US$51 miliar) cukup kuat dan institusi perbankan jauh lebih sehat. Lagi pula, utang korporasi dalam dolar tidak sebanyak tahun 1997. Kalau ada, banyak dari mereka yang melakukan lindung nilai (hedging) terhadap utang-utang itu.
Kendati perdebatan tentang uang panas itu kemudian berangsur dingin, ada satu persoalan yang belum dielaborasi secara gamblang. Apa sikap bangsa ini terhadap uang panas yang nyata-nyata terus berkeliaran di sentaero dunia. Kalau uang panas itu adalah sejenis mamon (berasal dari bahasa Yunani, mamonas yang berarti keuntungan/kekayaan), sikap kita belum jelas, haruskah kita bersahabat dengan mamon, ataukah harus kita menjauhi dia?
Uang panas adalah bagian total aliran dana swasta (private capital flows)—yang total hingga akhir 2006 mencapai US$780 miliar-- yang ditaruh dalam keranjang portofolio jangka pendek. Karena bagian dari produk keuangan sistem kapitalis, jawaban teknis atas pertanyaan di atas mesti diperiksa lebih jauh pada sikap ideologis kita pada sistem kapitalisme.
Sepertinya sedikit mengada-ada, rujukan ideologis akan menentukan cara kita berelasi dengan uang panas. Untuk itu, kepada kita diminta ketegasan untuk mebjawab, masuk ke keluarga manakah kita. Keluarga Mister Kapitalisme atau Komrad Sosialisme? Atau kita masih berani mengakui sebagai keturunan Ibu Pancasila yang tidak berkerabat, baik dengan mister atau komrad itu tadi?
Mengapa, kita perlu menyinggung persoalan ideologis ini? Pasalnya, belum lama ini, banyak dari kita yang juga tergoda untuk mengagumi ide Evo Morales yang mengusung kebencian pada kapitalisme dengan melakukan nasionalisasi atas aset gas dan perminyakan milik sejumlah perusahaana asing.
Padahal, belum jelas benar ke arah mana Morales membawa Bolivia? Gerakan Morales masih awal untuk bisa dipastikan apakan gerakan dia merupakan berkat atau kutukan. Wakil Morales, Alvaro Garcia Linera yang jauh lebih marxis sebenarnya tak seberapa peduli dengan identitas ideologis yang disandangnya. Menurut dia, mereka hanya berupaya keluar dari skema ekonomi neoliberal yang dijalankan oleh pendahulunya, Presiden Carlos Mesa. Dengan mengambil dukungan masyarakat asli Indian yang mendiami pegunungan Andes untuk mengotimalkan potensi kekayaan alam dalam negeri—sembari menjalin aliansi yang ekletik dengan pihak luar, termasuk perusahaan multinasional dan modal asing, pasangan Morales dan Linera berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bolivia. Nama terhadap gerakan pembangunan itu bisa beracam-macam, bisa Post neo-liberal, New Socialism (Sosialisme Baru), Kapitalisme Normal, Kapitalisme ala Andes, atau Sosialisme ala Andes.
Tentu saja para investor yang menghadiri IIF ke-2—orang-orang kapitalis karena menikmati keuntungan dari tata dunia model ini—tak akan membuang tempo berdiksusi tentang Morales. Bagi mereka, investasi di saham adalah realitas, sementara gerakan Morales Cuma sebuah inspirasi.
Jangankan melirik paham seheroik itu, mereka pun bakal enggan memberikan dukungan apabila pemerintahan negeri ini melakukan pembatasan terhadap portofolio asing ala juta militer Thailand. Karena mereka tahu, membatasi porotofolio asing berarti membatasi likuiditas perdagangan saham dalam negeri. Ide yang bisa melayukan gairah pasar nasional.
Sebenarnya, para pemodal saham yang hadir dalam forum—kalau boleh menangkap aspirasi mereka—berharap-harap cemas agar Wapres Jusuf Kalla bisa meneguhkan kepercayaan mereka dalam berinvestasi di pasar modal. Mirip seruan Deng Xiaping pada tahun 1992 yang menjadi pegangan masyarakat China hingga sekarang. Harapan itu tidak tercapai. Kalla memang bukan Deng.
Saat itu, di tengah keraguan masyarakat China akan pasar modal, Deng mendorong mereka untuk bersemangat meraih kekayaan dengan transaksi saham. “Menjadi kaya itu mulia (to get rich is glorious),” kata Deng saat itu.
Carld E. Walter dan Fraser J.T Howie dala buku ereka Privatizing China(The Stock Markets and Their Role in Corporate Reform), 2003 melukiskan bahwa di tengah keraguan para pemimpin China tentang saham, Deng tampil dan berujar: Surat berharga dan pasar modal, apakah mereka baik atau buruk, apakah ereka berbahaya, apakah mereka hanya boleh dijalankan di dunia kapitalise dan tidak berlaku bagi sosialisme? Biarlah, kita mencoba dulu, tapi harus dilakukan dengan determinasi. Jika mereka berfungsi dan berjalan baik dalam satu atau dua tahun, lalu kita membesarkannya; bila mereka ternyata keliru, lalu perbaiki ereka, atau kita menutup pasar….
Seruan Deng ini membakar semangat masyarakat China untuk terlibat bermain saham. Maka sejak itu demam saham (share fever) mengidap masyarakat China. Bersama pemodal asing mereka berlomba-loba meraih keuntungan di lantai bursa. Saking bersemangat, para pemodal itu perlu diingatkan akan risikonya. Maka sejak itu sudah terpasang billboard besar di kota Shanghai yang bertuliskan: Investors Beware! Share Can Lose Value!”
Ucapan Deng memang sangat bertuah. Lima tahun kemudian, Pamela Yatsko, jurnalis Far Eastern Economic Review’s dalam bukunya yang terkenal New Shanghai (The Rocky Rebirth of China’s Legendary City), 2001, memberi kesaksian tentang kegandrungan masyarakat China akan saham.
Pertama, dia menjumpai seorang pedagang saham (trader), Jimmy Zou. Apa kata Zou?…”You know, the richest people in China are only in stocks. Some of them do not have a good education. Their cultural level is low. The don’t understand art. But they know how to make money.” Tentang pekerjaaannya, Zou berkata: “They think I am a gambler. But now, more and more Chinese are gambling—from professors to workes to beggars”.
Lain kesempatan, Pamela meneui Huang Yajin, dekan ekonomi dari Fudan University. Begini kesaksian dia. “Perkebangan pasar saham di Shanghai adalah yang terhebat….Ketika saya meninggalkan Shanghai untuk belajar di Amerika Serikat tahun 1986, tak seorang pun mengerti apa itu saha. Saat saya pulang tahun 1992, setiap orang berbicara tentang saham. Berat bagi pasar saham untuk berkembang di sebuah negara bila tak seorang tak mepedulikannya. Di China orang peduli tentang pasar modal, baik masyarakat maupun pemerintahnya.”
Begitulah bangsa China yang peduli pada pasar modalnya. Tapi, jangan salah sangka, perhatian mereka pada investasi di sektor riil tidak lantas membuyar gara-gara keasyikan dengan saham. Mereka memberi kesempatan yang seluas-luasnya bagi perusahaan asing untuk berinvestasi secara langsung.
Menurut catatan Institute of International Finance, tahun 2005, dana swasta yang diinvestasikan secara langsung mencapai US$68 miliar dari total dana untuk Asia Pasifik sebesar US$89 miliar. Tahun 2006 dan 2007 jumlahnya diperkirakan sama, yakni US$55 miliar.
Sementara dana berupa portofolio ekuitas—apa yang kita sebut dengan uang panas—yang masuk ke negara Tirai Babu pada 2006 tercatat sebesar US$32 miliar, dari total untuk Asia Pasifik sebesar US$70 miliar. Tahun ini jumlahnya diperkirakan menurun menjadi US$18 miliar dari total US$63 miliar.
Jadi, jelas China membangun negerinya dengan modal asing. Mereka bersahabat dengan mamon, mendekap ‘uang panas’ demi kemajuan bangsanya. Salah satu caranya, dengan membangun pasar modal yang besar, mendorong perusahaan dan pemodal sebanyak-banyaknya terlibat di pasar modal.
Lalu, bagaimana sikap kita? Pada forum seperti ini, otoritas bursa dan keuangan kita mestinya berbicara jelas tentang sikap kita pada uang panas, mengelaborasi detil bagaimana membangun pasar modal. Tahun lalu mereka sudah berjanji akan membangun pasar modal. Kali, janji itu pun berulang. Mudah-mudahan, tidak terhenti di forum ini. Memang, pasar modal butuh pemimpin yang punya determinasi.

No comments: