Sunday, January 20, 2008

Guanxhi

Oleh Abraham Runga Mali


Guanxhi adalah kosa kata yang menjelaskan koneksi unik di kalangan masyarakat Tionghoa. Sebuah kedalaman hubungan personal karena relasi sosial yang khsusus dengan rasa saling mempercayai (trust) yang tinggi. Koneksi ini bisa keluarga, klan, marga, atau bisa juga antara dua sahabat yang sudah dijalin cukup lama.
Sebagai diaspora yang tersebar di kepulauan Asia Tenggara, koneksi seperti ini merupakan kebutuhan. Dari pada menjaling hubungan dengan pribumi atau kelompok lain yang belum tentu sejalan. Guanxhi memberi kenyamanan bagi para perantau Tionghoa ini untuk menghadapi ‘orang asing’ yang sering kali tidak bersahabat dengan mereka. Terutama ketika mereka melakukan aktivitas dagang.
Guanxhi lalu menjadi sebuah modal sosial. Cukup menentukan dalam keberhasilan dagang. Apalagi berdagang di wilayah kepulauan seperti ini. Mendapatkan mitra dagang yang tepat di pulau lain atau wilayah lain adalah hal penting. Tidak berlebihan kalau guanxhi ikut menjadi energi yang menentukan mati dan hidup bisnis kelompok etnis ini.
Kalau ditelurusuri, koneksi ini menemukan akarnya dalam ajaran Konfusian. Hubungan hirarkis antara ayah dan anak serta saling percaya antar teman sebagaimana dianjurkan dalam ajaran itu menjelma dalam transaksi bisnis. Hasilnya memang menakjubkan.
Terbentukalah sebuah komunitas ‘Sino-Nusantara’ yang menguasai bisnis di wilayah Nusantara, yaitu gugusan pulau dan semenanjung benua yang membentang di sebelah selatan negeri leluhurnya. Chinese overseas. Atau Nanyang huaqiao. Nanyang berarti ‘Samudra Selatan’, hua itu China, dan qiao berarti tinggal sementara sebagai pengunjung.
Berdasarkan data akhir 1990-an yang dikumpulkan Thomas Menkhoff dan Solvay Gerke, keduanya ahli kajian wilayah Asia Tenggara, jumlah mereka di Singpura mencapai dua juta lebih atau 77 persen dari total penduduk.
Di Malaysia jumlah mereka mendekati enam juta, 28 persen dari seluruh warga di negara itu. Jumlahnya di Thailand 6 juta lebih atau sebelas persen dari jumlah penduduk. Di Indonenesia, jumlah mereka ditaksir sekitar empat juta, atau mendekati tiga persen dari keseluruhan penduduk ketika masih berjumlah 185 juta.
Lebih mencengangkan kalau menghitung keberhasilan bisnis mereka. Sebelum krisis moneter, sekali lagi berdasarkan data yang dikumpulkan Merkhoff dan Gerke, tiga persen masyarakat Tionghoa di Indonesia menguasasi sekitar 70 persen modal swasta. Mereka juga berhasil menempatkan 66 persen orangnya dalam kelompok 300 konglomerat di Indonesia.
Bahkan, majalah bergengsi The Economist pada 1993 mencatat bahwa lima puluh juta orang China perantuan di wilayah Asia, termasuk mereka yang mendiami Taiwan dan Hong Kong, memiliki pendapatan kotor 450 miliar dolar AS. Angka ini seperempat lebih besar dari pendapatan nasional yang dikumpulkan negara China. Secara bersama-sama di seluruh dunia, kelompok chinese overseas ini memiliki aset likuid--tidak termasuk saham--mendekati dua triliun dolar AS.
Profesor Solvai Gerke dari Jerman menempatkan guanxhi sebagai salah satu alasan yang mendorong keberhasilan ini. Mereka berdagang dengan menggunakan jaringan ini. Seroang ada di Singapura, yang lain di Jakarta dan yang lain lagi Penang. Yang mengumpulkan hasil bumi di Jawan berkoneksi dengan rekannya yang menjual di Hanoi.
Alasan lain yang disebutkan Gerke adalah pengalaman berdagang yang sudah ditempa sejak puluhan abad silam. Bersama orang India dan Arab, masyarakat dari negara tirai bambu ini meninggalkan jejak pengaruh paling dalam di wilayah Asia Tenggara. Mereka paham betul bagaimana harus berdagang dengan manusia-manusia di wilayah ini.
Yang terakhir adalah perlakuan politik istimewa yang didapatkan orang Tionghoa dari penguasa Belanda atau Inggris. Mereka lalu kian menekenuni bisnisnya. Di ujung cerita, mereka memang berhasil.
Cerita lalu tidak menjadi sedemikian romantis. Ide-ide etnisitas dan kultur menjadi seperti mitos. Bukankah banyak kisah gelap di balik kegemilangan itu? Korupsi, kolusi, suap dan penyelundupan adalah bagian dari keberhasilan itu. Kerja keras dan hemat seperti yang didengungkan selama ini tidak bisa lagi menjadi alasan tunggal di balik keberhasilan itu. Termasuk guanxhi itu sendiri
Krisis moneter yang menimpa Asia Tenggara sepertinya meruntuhkan mitos-mitos itu. Perekonomian Asia Tenggara—yang ditopang kelompok ini—berantakan. Seorang Mario Rutten lalu mengusung sebuah gugatan akan pengaruh nilai-nilai kulrural dalam keberhasilan bisnis.Yang dibutuhkan untuk keberhasilan bisnis itu sama, baik di Eropa maupun di Cina. Kerja sama dalam jaringan seperti digambarkan dalam guanxhi itu penting, tetapi kualitas pribadi yang selalu diusung di masyarakat Eropa yang individualis juga tidak kalah pentingnya.
Karena itu, demikian Henry Yeung yang meneliti manajemen perusahaan multinasional Singapura milik etnis Tionghoa, krisis Asia Tenggara harus menjadi momentum bagi orang Tionghoa untuk segera menerima prinsip-prinsip manajemen modern yang profesional agar merekla bertahan dalam persaingan global. Guanxhi tidak lagi atas pertimbangan primordial seperti hubungan famili, klan, suku dan konco-konco. Tapi, lebih pada pertimbangan kemampuan seseoang, yaitu keahlian, memiliki visi, berani mengambil risiko, memiliki jaringan yang luas dan memiliki motivasi yang tinggi.

No comments: