Monday, January 21, 2008

Agama dan Perubahan

Abraham Runga Mali


Sayang, Max Weber keburu meninggal ketika studinya tentang agama-agama besar belum rampung. Padahal, dia sedang merencanakan sebuah kajian komparatif yang menarik di antara agama-agama besar. Mulai dari Yahudi Kuno, Hindu, Budha, Kongfutzu, Kristen Perdana, Islam dan Katolik Abad Pertengahan.
Yang dikaji pasti soal pengaruh agama-agama itu atas dinamika kehidupan sosial. Dan titik tolaknya adalah bagaimana nilai-nilai agama itu berpengaruh atas perubahan sosial. Dia ingin memperbaiki cara berpikir Marx yang meletakan kondisi-kondisi material sebagai satu-satunya kepentingan yang menggerakan perubahan. Perbedaan kepentingan melahirkan kesadaran kelas, kemudian muncul perjuangan kelas. Lalu perubahan.
Kendati mengakui kondisi material dan kepentingan ekonomi, dalam penelitiannya, Weber memperlihatkan bahwa ide, nilai, termasuk ide-ide yang diusung oleh agama mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap perubahan sosial.
Dengan pendekatan itu, Weber--yang belum merampungkan studinya tentang semua agama itu­­­--sampai pada kesimpulan bahwa nilai-nilai Protestantisme, terutama yang berkembangana pada aliran Calvinisme menjadi prasyarat bagi muncul dan berkembangannya kapitalisme.

Rasional dan sistematis

Menurut dia, baik Protestantisme maupun kapitalisme sama-sama menganut pandangan hidup yang rasional dan sistematis. Dari sumber teologinya—hasil bongkaran atas kekakuan tradisionalisme dan feodalisme Katolik—mengalir etika yang menekankan pentingnya menghindari kemalasan dan kenikmatan semaunya, dan memberi arti penting pada kerja keras dalam tugas-tugas di semua sisi kehidupan, terutama pada kegiatan ekonomi.
Dan etika itu sesuai dengan perkembangan kapitalisme modern yang menuntut pembatasan pada konsumsi sehingga ada sisa uang yang bisa diinvestasikan dan penanaman modal. Selain itu, kapitalisme mengandaikan kesiapan untuk tunduk pada disiplin perencanaan untuk tujuan-tujuan di masa mendatang, dan bekerja secara teratur pada suatu pekerjaan.
Menurut Doyle Paul Johnson, dari kesamaan-kesamaan itu, mungkin agak berlebihan kalau dikatakan bahwa Protestantisme menyebabkan kapitalisme. Tapi yang pasti, etika Protestantisme merangsang dan mendorong kapitalisme. Dalam hal ini, Protestantisme dan nilai-nilainya bukan satu-satunya faktor. Ada kondisi material dan kepentingan ekonomi saat itu yang ikut mendorong lahir dan berkembangnya kapitalisme modern.
Mungkin karena itu sejarahwan Randall Collins seperti dikutip Michael Novak dalam artikelnya How Christianity Created Capitalism melangkah mundur pada Abad Pertengahan.
Pada masa itu melalui disiplin yang dikembangkan di biara-biara Sistersian, rasionalisasi ekonomi sudah dijalankan. Displin, hidup hemat dan semangat bekerja serta menemukan teknologi dalam keseharian sudah dimulai. Jam mekanis, gerobak, kaca pembesar dan alat-alat lain sudah dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi.
Itulah sebabnya, pada saat itu para biarawan tersebut mendominasi peleburan besi di Perancis Tengah. Mereka jualah pada saat itu yang menguasai produksi wol di Inggris. Bahkan, hasil produksi bahan kain itu kemudian diekspor ke manca negara. Mereka melakukan pekerjaan itu dengan penuh suka cita dan energik. Itulah sebabnya Collins menulis, “They had Prostestant ethic without Protestantism.”
Tapi, apakah Weber tak memahami sejarah gereja di Abad Pertengahan itu? Hampir tidak mungkin. Di bawah tajuk History of Commercial Societies of the Middle Ages, dia menyelesaikan tesis doktoralnya. Tapi, mengapa dia mengabaikan etika kaum Sistersian dan biarawan Bediktin pada masa itu?

Semangat sekular

Mungkin saja para biarawan itu bekerja keras. Tapi, semangat memisahkan diri dari dunia itulah yang menjadikan etos mereka seakan terlepas dari realitas masyarakat sekitarnya. Orientasinya adalah kesalehan pribadi dan kehidupan setelah kematian. Mereka menganut mistisisme luar-dunia (other-worldly mysticism).
Kaum Sistersian membangun biara, tetapi tidak membangun dunia secara komprehensif. Sebaliknya, orang-orang Prostestan justru menjadikan dunia ini sebagai biara. Mereka menghidupi semangat sekular yang dilandasi oleh asktetisme dalam-dunia (inner-worldly ascetism).
Sistem kepercayaan agama Protestan memberi motivasi yang unik bagi penganutnya dalam kehidupan di dunia sekuler, khususnya dalam dunia ekonomi. Menurut Weber, dia tidak hanya berbeda dari Katolik, tapi juga dari agama-agama besar lainnya.
Dengan Islam misalnya, seperti yang ditafsirkan Byan S Turner bukunya Weber and Islam(1974), Weber berpendapat bahwa Islam menganut institusi politik yang patrimonial, yang menghalangi munculnya prakondisi kapitalisme, yakni hukum rasional, pasar kerja bebas, kota yang otonom, ekonomi uang dan kelas borjuis.
Begitu pun dengan agama –agama besar yang lain. Kewajiban individu untuk menyesuaikan diri dalam kewajiban tradisional menurut posisi kasta (Hinduisme), penolakan yang keras terhadap dunia material (Budhisme), penolakan pada dunia dan kehidupan dengan rasa susila yang tinggi (Konfusian), semangat kerja yang selalu diliputi penantian pada abad mesianik (Yahudi), dan kepercayaan pada tradisi gereja dan harapan yang tinggi pada keselamatan kekal (Katolik), menurut Weber, jelas bukan merupakan prakondisi yang baik bagi kapitalisme.
Begitulah kira-kira wajah agama pada saat Weber hidup dan melakukan penelitian. Sekarang--karena agama itu dinamis—wajah mereka sudah berubah. Yang terjadi saat ini, justru semangat kapitalis yang memberi pengaruh cukup kuat atas sistem dan nilai agama-agama itu. Intepretasi dan teologinya terus berkembang dan menjadikan penganutnya turut mengambil bagian dalam pembangunan dunia.
Yang menjadi soal, justru, orang-orang Protestan yang sedari awalnya tidak memperkirakan etika asketik dalam-dunia yang dihayatinya justru saat ini menghasilkan sekularisasi yang susah dikendalikan.
Weber menulis begini: “Karena asketisme berusaha untuk mengubah dunia dan melaksanakan ideal-idealya di dunia, benda-benda material memproleh kekuasaan yang semakin bertambah dan akhirnya bersifat mutlak terhadap kehidupan manusia yang tidak pernah terjadi sebelumnya…..Kapitalisme yang jaya itu, karena dia bergantung pada dasar mekanikal, tidak membutuhkan agama lagi.”
Menyaksikan itu, Peter Berger dalam Sacred Canopy melihat Prostestantisme sebagai manifestasi yang paling sempurna dari proses dialektik di mana orientasi agama yang bersifat inner-worldly itu menggali kubur untuk dirinya sendiri.
Dan tentu saja, orang Protestan sudah lama menyadari hal itu. Mudah-mudahan, itu juga menjadi kesadaran para penganut agama yang lain. Karena, kalau terus-terusan membiarkan diri terhanyut oleh ide-ide dan cara-cara kapitalisme, padahal dia tak memerlukan lagi dukungan agama, agama apa pun bisa menjadi kuburan. Tak terkecuali. Karena, agama tak mampu lagi berperan bagi perubahan!

No comments: