Monday, January 21, 2008

Lobi Utang Menjelang Kejatuhan Soeharto


Saat ini perhatian bangsa ini mengarah pada akhir hidup Soeharto, mantan Presiden RI yang sedang mengalami sakit keras. Tentang Soeharto yang pernah berkuasa 32 tahun itu, penulis teringat pada perjalanan ke Washington dan New York mengikuti rombongan Menkeu Mar’ie Muhammad pada awal desember 1997 yang ditugaskan untuk melobi utang negara ini kepada IMF. Dari Washington penulis sempat menulis artikel dengan judul Lobi Utang dan Kecemasan IMF. Saya hadirkan kembali tulisan itu dengan mengubah judulnya.


Isyu tentang wafatnya Presiden Soeharto kembali mengguncang mata uang rupiah, sehingga menyebabkan nilai tukarnya terhadap dolar AS mencapai posisi terendah baru, yakni Rp 4.660.
Terpuruknya rupiah bukan hanya merugikan perekonomian Indonesia, tapi juga memusingkan pimpinan International Monetary Fund (IMF), lembaga yang sudah memberikan komitmen dana bantuan sekitar US$23 miliar.
Itulah sebabnya, IMF yang bermarkas di Washingtong buru-buru meminta penjelasan dari Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad Selasa (9 Desember). Padahal dalam jadwal resmi, pertemuan Menkeu dengan Stanley Fisher, Deputi Direktur Pelaksana IMF, baru dilangsungkan Kamis.
"Menkeu diminta keterangan soal isyu kematian Presiden dan penurunan rupiah yang tajam," ujar sumber Bisnis yang ikut dalam pertemuan itu.
Bahkan, dalam pertemuan tersebut, Menkeu juga diminta keterangan mengenai kebakaran Gedung Bank Indonesia yang terjadi awal pekan ini. Soalnya, tersebar isyu di Washington, bahwa kebakaran itu selain menelan nyawa sejumlah karyawan, juga menghanguskan dokumen pinjaman perusahaan swasta.
Hampir dapat dipastikan bahwa IMF sangat cemas dan prihatin dengan krisis moneter dalam sepekan terakhir ini. Kecemasan itu tentu tidak tanpa alasan. Karena IMF merasa seolah-olah bantuan finansial dan manajerial yang diberikannya tidak mendapatkan hasil maksimal.
Apalagi, pengamat asing, terutama yang berdomisili Amerika Serikat, sedikit sinis dengan langkah yang ditempuh IMF dalam memecahkan krisis finansial di Asia. Para pengamat itu mengkhawatirkan bahwa bantuan IMF bukannya menjadi obat tapi malah menjadi racun yang mematikan perekonomian Asia.
Maksudnya memang melakukan reformasi ekonomi, tapi akibat langkah-langkah keras yang diambilnya di Asia bisa membuat panik para investor.
Lebih-lebih lagi, krisis di negara Asia lainnya yang juga berdampak pada perekonomian Jepang bisa mendorong Negeri Sakura itu untuk menjual sebagian dari US$320 miliar obligasi pemerintah AS (Treasury Bill). Hal itu tentunya bisa mempengaruhi suku bunga dan perekonomian Amerika Serikat.
Kecemasan itu memberi inspirasi kepada James K. Glassman dalam opininya di The Washington Post, Selasa 4 Desember berjudul Who Needs IMF?
Dia mengatakan jangan sampai bantuan institusi tersebut menjadi tindakan karitatif yang tidak menolong apa-apa.
Menyitir ekonom Allan Meltzer bahwa kapitalisme tanpa kegagalan bagaikan agama tanpa dosa, seruan tersebut bisa menjadi hiburan bagi sejumlah negara Asia, termasuk Indonesia yang tengah dilanda krisis moneter.
Tak mungkin pertumbuhan sebuah negara terus melesat tanpa harus mengalami kemandekan sejenak guna mendapatkan kesempatan untuk mengevaluasi kembali setiap derap yang baru dilewati. Kegagalan itu seakan menjadi alasan untuk melakukan pertobatan nasional.
Menjamu rombongan
Renungan The Washington Post itu seakan menjamu rombongan Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad dan Kadin yang saat ini sedang melakukan road show dan melobi pemerintah dan investor AS untuk memperpanjang waktu pembayaran utang swasta yang akan jatuh tempo pada Maret 1998.
Yang pasti, hiburan Meltzer tidak melemahkan niat Mar'ie dan Ketua Kadin Aburizal Bakrie untuk mensukseskan misi tersebut.
Belum jelas, apa argumentasi yang akan dikemukakan oleh pemerintah dan swasta Indonesia supaya kreditor AS bisa memenuhi permintaan tersebut.
Menurut rencana, setelah bertemu dengan IMF, tim Indonesia pada Rabu pekan ini akan bertemu dengan Presiden Bank Dunia James D. Wolfensohn dan bertatap muka dengan forum Asian Indonesia Business Culture dan Kadin Indonesia Amerika. Kemudian, pada hari Kamis, rombongan Indonesia akan berdialog dengan Menkeu AS Robert E. Rubin.
Yang paling menentukan adalah pertemuan yang berlangsung pada Jumat, 12 Desember, di New York.
Diawali dialog dengan Asian Society, lembaga LSM independen yang sering membantu Asia, termasuk Indonesia, rombongan Menkeu dan Kadin akan bertemu dengan para manajer investasi untuk membicara masalah perpanjangan utang swasta.
Tidak eksplisit
Dalam perbincangan dengan sejumlah pengusaha Indonesia di Washington, kemungkinan tim Indonesia tidak secara eksplisit menyinggung masalah roll-over utang swasta dalam dialog kreditor Amerika Serikat.
"Dalam pembicaraan terakhir di Jakarta kami berusaha sepakat bahwa masalah roll-over tidak dibicarakan. Jangan sampai mereka mengira kita menekan mereka," ujar pengusaha Jusuf Kalla.
Pada saat itu nanti,lanjutnya, tim pelobi hanya menjelaskan posisi perusahaan Indonesia kepada para kreditor tersebut.
Dia mengatakan para kreditor itu akan diyakinkan bahwa perusahaan Indonesia sedang mengalami kesulitan likuiditas sehingga tidak bisa membayar utangnya sekarang ini. Tapi, jelasnya, tim Indonesia harus mampu menjelaskan bahwa perekonomian Indonesia sangat prospektif karena pemerintah dan swasta akan bahu-membahu membangun perekonomian negaranya.
"Saya yakin mereka akan mengerti bahwa kita belum bisa membayar utang sekarang. Karena, kalau mereka ngotot akan merugikan mereka sendiri," timpa pengusaha lain yang enggan disebutkan namanya.
Melihat keseriusan IMF sebelumnya, lanjut pengusaha itu, sangat besar kemungkinan AS akan memenuhi permintaan Indonesia. Karena sekitar US$36 miliar atau 18% dari total dana IMF yang saat ini mencapai US$ 200 miliar itu berasal dari AS. Karena AS--yang secara tidak langsung terlibat melalui IMF--tentu tidak mau dicap sebagai negara konsisten dalam membantu Indonesia.
Apalagi, lobi ke AS tersebut merupakan lobi lanjutan yang telah dilakukan ke kreditor Jepang yang hampir pasti akan menyetujui 40% dari utang swasta sekitar US$9,6 miliar yang akan jatuh tempo Maret tahun depan.
Dengan demikian, sebenarnya masalah utang--sekurang-kurangnya untuk jangka panjang--bukanlah persoalan fundamental untuk sebuah perekonomian. Yang terpenting adalah keseriusan pemerintah dan swasta dalam reformasi ekonomi di masa mendatang.
Karena yang menjadi akar persoalan di Indonesia selama ini, termasuk sejumlah negara Asia lainnya, bukanlah bagaimana mendapatkan dana asing dalam bentuk utang, tapi soal pemanfaatan dana-dana itu secara optimal.
Tidak berlebihan kalau Ketua Federal Reserve AS Alan Greenspan sempat memvonis bahwa negara Asia terkena gejala irrational exuberance. Artinya, dana untuk pertumbuhan ekonomi di kawasan itu sangat besar, tapi konyolnya bahwa investasi itu dilakukan secara tak bertangungjawab.
Dengan cara lain David C. Halper, manajer investasi dari Zesiger Capital Group LLC yang belasan tahun berinvestasi di Indonesia melukiskan hal itu. Dia mengatakan bahwa reformasi perekonomian Indonesia menjadi semakin pelik karena berujung pada solusi politik.
"Kalau hanya soal ekonomi mungkin pada tahun depan sudah kembali pulih," ujarnya kepada Bisnis.
Apalagi, sudah menjadi rahasia umum bahwa dinamika investasi di Asia, termasuk Indonesia, dimainkan oleh birokrat, bankir dan pengusaha dalam hubungan yang sangat kolusif.
Makanya reformasi ekonomi tidak akan selesai hanya dengan urusan melobi pelunsan utang piutang, tapi bagaimana menciptakan kondisi politik yang mampu memutuskan tiga terali besi tersebut. Kalau tidak, terali-terali itu akan memperat lilitan utang yang kian membengkak.
o Penulis adalah wartawan Bisnis Indonesia.

No comments: