Monday, January 21, 2008

Mau Kaya? Jangan Betah di Sekolah!

Oleh Abraham Runga Mali

Non scholae sed vitae discimus. Kita belajar untuk hidup, bukan untuk sekolah. Begitu kira-kira pepatah tua orang Roma yang memberi peringatan kepada orang-orang yang betah di bangku sekolah. Apalagi kalau Anda adalah seorang murid berambisi menjadi kaya. Sekolah tak pernah mengajarkan Anda menjadi pencari uang yang handal. Untuk menjadi kaya, tak ada cara lain kecuali Anda belajar ‘jatuh bangun’ memulai sebuah bisnis.

“Buat apa sekolah tinggi-tinggi, kalau toh ujung-ujungnya mencari duit juga,” begitu kira-kira pendapat yang beredar saat ini. Terutama bagi mereka yang harapannya agar pemerintah segera mengucur dana subsidi BBM untuk pendidikan gratis tak pernah menjadi kenyataan. Eskalasi sikap antipati terhadap pendidikan kian meninggi.
Pemaafan bahwa pendidikan adalah hal yang kurang penting untuk kehidupan yang riil menjadi seperti obat penenang. Apalagi ketika mereka sering menyaksikan bahwa sekolah tidak serta merta mengubah garis tangan seseorang. Kalau begini yang terjadi, biaya pendidikan dicibir sinis sebagai investasi yang tinggi dengan hasil yang sangat tidak pasti..
Kalau jeli mengamati, pengalaman sehari-hari di sekitar kita bercerita banyak tentang kekecewaan orang terhadap pendidikan formal. Seorang sopir taxi, sebutlah namanya Syamsul, adalah salah satu yang mengaku sangat kecewa dengan kenyataan pendidikan saat ini. Tiga anaknya yang dibiayai sekolahnya dengan susah payah sampai tamat ternyata tidak membawa perubahan apa-apa.
“Saya sudah habis-habisan membiayai anak-anak hingga tamat STM, SMEA, dan ada satu yang sampai menyelesaikan D3 di sebuah sekolah akuntansi. Sekarang tiga-tiganya masih menganggur. Dengan pengalaman ini, apa saya mesti terus percaya pada pentingnya pendidikan?” Syamsul adalah satu dari sekian ribu orang tua di Indonesia yang menggugat peran pendidikan formal.
Memang benar ketika impian hidup banyak orang lebih tertuju pada uang, sekolah sebagai lembaga yang menyelenggarakan proses mengajar dan belajar mulai kurang dirasakan manfaatnya. Apalagi terbukti banyak orang yang berhasil mengumpulkan banyak uang tidak pernah merampungkan sekolahnya dengan baik.
Sebut saja sebagai contoh adalah Bill Gates. Kendati tidak menamatkan sekolahnya secara formal, Bill gates adalah seorang milioner yang berhasil mengembangkan Microsoft. Orang-orang seperti Thomas Edison, pendiri General Electric, Henry Ford, pendiri Ford Motor Co, Ted Turner pendiri CNN adalah contoh lain dari orang-orang yang berhasil yang tidak pernah memperoleh tanda kelulusan dari perguruan tinggi. Tentu, masih banyak deretan nama lain yang bisa dibuat dalam litani yang sangat panjang.

Kiyosaki yang inspiratif

Adalah Robert T. Kiyosaki, seorang tokoh penasihat keuangan yang lagi digandrungi saat ini, mengajukan pemikiran yang sangat inspiratif. Menurut dia, anggapan bahwa sekolah membuat orang berhasil dalam hidup itu harus segera ditinggalkan.. Lembaga pendidikan fomal itu tidak dianjurkan sebagai jalan mencapai ‘kebebasan finansial’
Karena itu Kiyosaki tetap pada keyakinannya bahwa untuk mencapai impian kebebasan finansial itu, seseroang harus bekerja keras, segera menekuni bisnis dan berlatilah memanfaatkan jaringan.
Mari kita belajar dari dua ayah Kiyosaki yang memberi inspirasi yag berbeda tentang hidup. Pertama, adalah ayah kandungnya, yang berpendidikan tinggi, tapi miskin secara finansial. Ayah yang kedua, ayah dari sahabatnya yang tidak menamatkan SMA, tapi kaya raya.
Menurut dia, ayahnya yang berpendidikan tinggi itu selalu mengingatkan dia untuk belajar yang rajin dan berhasil di perguruan tinggi. Setelah itu carilah pekerjaan di perusahaan yang hebat.
Sebaliknya, dari ayahnya yang satu, dia selalu dinasihati untuk belajar yang baik di sekolah kemudian segera mungkin mendirikan perusahaan. Kiyosaki menasihati Anda untuk tidak perlu berlama-lama di sekolah dan harus segera menekuni bisnis dengan mengandalkan jaringan.
“Bahkan saya harus jujur mengatakan bahwa belajar di perguruan tinggi sama sekali tidak ada kaitannya dengan kehidupan yang riil’, begitu pendapat Kiyosaki seperti ditulis dalam bukunya Rich Dad’s the Business School.
Dia lalu membagi dua macam tipe manusia berkaitan dengan cara mereka mendapatkan dan menggandakan uang. Pertama, adalah orang-orang yang berada di sebelah ‘kiri’ (kuadran kiri), yaitu mereka mencari uang dengan bekerja sebagai karyawan (employee) atau yang bekerja sendiri (self-employed). Tipe kedua, adalah kelompok orang yang berada di kuadran kanan yang teridiri dari para pengusaha (business owner) dan pemodal (investor).
Menurut Kiyasaki, sekolah-sekolah saat ini hanya bisa menempatkan orang-orang di ‘kuadran kiri’ yang hanya puas dengan menjadi karyawan atau menjadi pekerja. Yang pasti, demikian keyakinan dia, tak mungkin seseroang menjadi kaya hanya dengan menerima upah dari perusahaan. Karena itu, lagi-lagi Kiyosaki menantang Anda untuk tidak berlama-lama mengabdi pada sebuah perusahaan.
Yang menarik adalah kritik Kiyasaki terhadap sekolah-sekolah tradisional yang hanya bisa menciptakan orang menjadi manusia-manusia ‘kiri’ tadi. Menurut dia, di sekolah itu formal hanya dimensi kognitif atau mental yang mendapat perhatian. Dimensi fisik,
spiritual dan emosional sama sekali diabaikan.
Maka tidak mengherankan, lanjut Kiyosaki, sekolah tradisional mendidik orang untuk takut membuat kesalahan. Lembaga itu hanya mampu menempa orang menjadi pintar secara akademis, tapi tidak membuat orang berani membuat kesalahan,mau mengambil risiko dan bebas bekreasi.
Sebaliknya dia memberi respek yang tinggi pada kurikulum bisnis praktis yang dikembangkan oleh perusahaan pemasaran jaringan seperti keahlian berinvestasi, keahlian manajemen uang, sikap terhadap kesuksesan, keahlian berkomunikasi dan sejumlah ketrampilan laiinya (Lihat tabel).
“Kalau rancangan pendidikannya bagus, maka hal itu akan dapat meningkatkan hidup Anda menjadi lebih baik, mungkin untuk selamanya,” tegas Kiyosaki.
Hal itu dibenarkan oleh Purdie E. Chandra, Presdir Grup Primagana yang sekaligus adalah pengelola dan mentor utama Entrepreneur University. “Saya sudah sadar bahwa pintar dan mendapat peringkat di kelas tidak menjamin seseorang akan sukses dan kaya raya.
Dia bahkan berkeyakinan bahwa semakin lama seseorang belajar di sekolah, semakin tidak kreatiflah orang itu. Lagi pula, Purdie sepakat dengan penilaian Kiyosaki bahwa sekolah membuat orang takut pada risiko.
Padahal keberanian mengambil risiko, menurut dia, adalah sikap penting yang amat diperlukan bila seseroang ingin suskes menjadi wirausaha. Sedangkan rasa aman dan takut membuat kesalahan membuat orang-orang lebih memilih menjadi karyawan di perusahaan.
Menurut data yang diajukan Kiyosaki, sebagian besar orang kaya mendapatkan 80% kekayaan dari bisnis dan investasi. Di pihak lain, 70 persen pendapatan sebagian orang miskin hanya mengandalkan gajian. Karena itu kalau mau kaya, berpindahlah ke kuadran kanan dan jangan mau jadi orang gajian lagi.
Menurut Tri Joko, Ketua Financial Planning Association Indonesia, visi baru bahwa orang bisa berhasil tanpa harus lewat sekolah formal bisa menjadi alternatif pilihan di tengah makin susahnya orang mendapatkan sekolah-sekolah formal karena tingginya biaya pendidikan.
Meskin demikian, Tri Joko tetap melihat pentingnya standar minunum pendidikan sesorang“Mestinya ada standar minimal seperti SMA atau D3 agar orang bisa berhasil . Yang berhasil tetapi tidak pakai sekolah seperti Om Lie Sie Liong itu tidak banyak. Itu hanya contoh kasus yang tidak bisa berlaku untuk semua orang.”
Standar pendidikan minimal itu memang penting agar seseorang memulai bisnis mampu mencerna informasi dan menangkap peluang dengan lebih baik. Kendati demikian, Tri Joko yakin bahwa berlama-lama di sekolah itu sangat merugikan untuk seseorang yang berniat menekuni bisnis.
Mengapa seseorang harus memulai bisnis seusai perguruan tinggi, yaitu pada usia 24 atau 25 tahun kalau sebenarnya dia sudah bisa melakukannya pada usia 18 tahun?, tantang vice president Panin Insurance itu. “Yang memulai lebih dulu memiliki waktu lebih banyak untuk ‘trial and error’ di dunia bisnis dari pada harus menunda-nunda beberapa tahun kemudian. Insting bisnis itu harus diperoleh dari latihan dan pengalaman,” tegasnya. Kalau begitu, kemahiran mencari uang untuk menjadi kaya adalah persoalan pengalaman. Anda tak pernah mendapatkannya dari buku dan guru di sekolah. Itu hanya ada di ‘sekolah masyarakat’ yang diajarkan oleh ‘guru pengalaman’. Bukankah pengalaman adalah guru kehidupan yang baik?

No comments: