Tuesday, January 22, 2008

Memahami Kepentingan Jerman dalam Konflik Irak (2)

Bush mencoba bentengi dolar AS dari 'gempuran' euro
(Bag. akhir dari 2 tulisan)

Langkah Rusia untuk merebut dominasi minyak dunia juga perlu disimak. Pada beberapa tahun terakhir Rusia membangun perekonomiannya dengan mengoptimalkan potensi minyak yang dimilikinya.
Guna mencapai tujuan tersebut, pemerintahan Vladimir Putin harus bisa ikut menentukan harga minyak dunia bersama OPEC.

Semangat Rusia untuk mendapatkan ladang minyak di Irak tidak terlepas dari sasaran tersebut. Demikian juga usahanya untuk melebarkan sayap melalui aliansi dengan sejumlah negara lainnya.

Dengan AS pun pemerintahan Vladimir Putin melakukan kerja sama. Setahun setelah peristiwa 11 September, Rusia dan AS menandatangani kerja sama dan Rusia berjanji akan memasok minyak ke Paman Sam.

Dengan demikian bisa mengurangi ketergantungan Amerika Serikat pada pasokan minyak dari Timur Tengah yang mulai terganggu setelah peristiwa 11 September. Dengan kerja sama tersebut, sejumlah pengamat memperkirakan bahwa dalam lima tahun Rusia akan memasok minyak sedikitnya 1 juta barel per hari ke Houston. Jepang dan Cina pun tidak luput dari ajakan untuk bekerja sama.

Dengan Jepang misalnya, Rusia akan membangun pipa minyak dari pulau Shakalin yang berjarak sekitar 25 mil dari perbatasan utara Jepang. Untuk memenuhi kebutuhan dunia, Rusia juga membangun sebuah transit minyak di Hamburg, Jerman, yang kemudian dikapalkan ke berbagai negara dunia.

Segala usaha yang dilakukan Rusia tidaklah sia-sia. Tanda-tanda keberhasilan bisnis minyak Rusia dalam dua tahun terakhir tercermin pada kinerja pasar modalnya. Indeks bursa Moskwa yang pada tahun 2001 dan 2002 meningkat masing-masing 80% dan 37% tidak terlepas dari dukungan perusahaan publik sektor perminyakan. Sebagai misal, kinerja saham Yukos yang diemisikan di bursa-bursa Eropa lainnya sempat meningkat dari 40 euro hingga 200 euro.

Menghantam dolar

Tanda tangan kontrak antara pemerintahan Irak dengan sejumlah negara seperti Rusia dan Prancis tidaklah mengakhiri pertarungan ekonomi diantara sejumlah negara. Bahkan kian seru dan memanas.

Terutama semenjak Saddam memutuskan untuk menggunakan euro sebagai ganti US$ dalam semua transaksi minyaknya. Sebuah ancaman terhadap dominasi US$ dalam pasar uang internasional.

Apalagi ketika kekayaan Irak yang berada di bank Prancis, BNP Paribas cabang New York senilai US$10 miliar juga dikonvesikan ke dalam euro.

Pada saat konversi dilakukan nilai euro masih sekitar 82 sen. Saat ini, Saddam, memetik keuntungan karena nilai euro terus menguat dan berada di atas dolar AS. Tapi, keputusan Saddam saat itu sebenarnya lebih merupakan keputusan politis daripada sebuah langkah investasi. Dengan melepas US$, Irak hendak menarik distansi dan melepas hemegoni AS.

Seorang pengamat Timur Tengah yang berbasis di Stprus Shams mengatakan keputusan Saddam saat itu sangat emosional dan tidak bisa dipahami secara ekonomis apalagi dia tidak membeberkan rencananya tersebut secara detil.

"Ini adalah urusan politis. Dia bukan ahli investasi dan bukan orang dari bank sentral. Dia hanyalah saudagar minyak."

Yang lebih mencemaskan AS bahwa tindakan Irak itu akan diikuti olah tetangganya Iran. Hanya kemudian Iran mengurungkan niatnya karena nilai euro yang masih sangat melemah.

Baru pada Agustus tahun lalu, Iran kembali mempertimbangkan untuk menggunakan euro dalam transaksi minyaknya. Bahkan, pada saat itu para pengamat memperkirakan, bahwa langkah Saddam Husein akan diikuti oleh negara minyak lainnya, yaitu Venezuelea yang juga mengalami hubungan yang tidak harmonis dengan AS karena presidennya Hugo Chavez menjalin hubungan dengan musuh utama AS dari Kuba, Fidel Castro.

Lalu apa kepentingan Jerman sebagai salah satu negara utama Eropa yang menentang aksi AS?

Penjaga euro

Soal perburuan minyak, Rusia dan Prancis adalah dua negara yang paling disoroti . Benar, bahwa sebagian minyak Rusia dikapalkan dari pelabuhan Hamburg. Begitu juga Jerman adalah salah satu negara terpenting dalam ekonomi negara Rusia.

Sedikitnya 17% investasi asing di Rusia pada 2001 berasal dari Jerman. Sebuah posisi tertinggi. Begitu juga Jerman merupakan tujuan utama ekspor Rusia (10%). Sementara impor Rusia dari Jerman mencapai 12%. Sebuah hubungan dagang yang tidak bisa dianggap sepele.

Belum lagi, keterkaitan itu diperhitungkan dengan menempatkan posisi Jerman sebagai salah satu negara terpenting di Uni Eropa.

Sebagian besar investasi ladang minyak di Rusia, menggunakan pinjaman dari bank-bank anggota Uni Eropa.

Begitu juga saham-saham perusahaan minyaknya juga dicatatkan di sejumlah bursa Eropa. Itu berarti kehancuran ekonomi Rusia merupakan ancaman tersendiri bagi Uni Eropa dan euro-nya.

Apalagi kalau perusahaan-perusahaan Prancis juga ikut dirugikan dalam perseteruan minyak dunia.

Dalam perspektif ini, kita bisa memahami mengapa Jerman mati-matian berada di pihak Rusia dan Prancis yang menentang serangan militer terhadap Irak.

Tambahan lagi, Jerman sebagai penjaga euro terdepan, harus berterima kasih kepada Saddam Husein yang sudah bersedia menggunakan mata uang masyarakat Eropa.

Konflik minyak akhirnya mengundang perseteruan euro dan US$ secara terbuka. Sejak 1998, wartawan CNN, Dan Williams, sudah memperkirakan akan terjadi persaingan antara Jerman dan AS untuk membela kedua mata uang tersebut.

Karena kehadiran euro, lanjut Williams, merupakan ancaman terhadap dominasi mata uang AS tersebut.

Pada saat itu, Allan Greespan menyatakan keyakinannya bahwa dalam pertarungan itu, euro tidak pernah akan bertahan.

Akhirnya carut-marut pertarungan kepentingan ekonomi itu menjelma pada letupan bom dan ledakan granat.

Sebelum genderang perang berbunyi, Menlu AS Collin Powel sertamerta mencanangkan agar setelah kekalahan Irak, US$ akan diperkenalkan sebagai mata uang resmi di negara lembah sungai Tigris dan Efrat tersebut.

Apakah itu pertanda ekonomi AS dan dolarnya akan keluar sebagai pemenang dalam perang Irak?

Tidak mudah untuk dijawab. Bush harus mengeluarkan miliaran dolar AS untuk membiayai peperangan dan membangun kembali Irak. Sebuah beban yang tentu akan menggoyangkan pondasi perekonomiannya.

Sebaliknya, penguatan euro saat ini dibarengi kecemasan negara-negara Eropa akan kemungkinan terjadinya resesi ekonomi.

Jangan-jangan justru pepatah ini yang benar, "kalah jadi abu, menang jadi arang".

No comments: