Monday, January 21, 2008

Keterpautan yang Membebaskan

Pada tangal 12 hingga 15 Februari 2007 diselenggarakan kongres teknologi 3GSM berskala internasional di Barcelona, Spanyol. Saya hadir dalam acara tersebut. Berikut adalah cacatan reflektif tentang peran teknologi itu bagi kehidupan manusia.



Apa yang tersisa ketika selesai menghadiri konggres 3GSM internasional di Barcelona? Masih terbayang-bayang gambaran tentang kian membludaknya pemakai teknologi 3GSM di dunia. Masih tergagap-gagap pula ketika mengenang evolusi teknologi 3GSM yang kian canggih.

Di Barcelona dipertontonkan kemajuan teknologi HSDP (High Speed Down link Packet Access (HSDP) yang memungkinkan operator untuk memberikan layanan mobile broad band sehingga data audio, video dan file bisa diterima dalam jumlah besar. Dan, secara bersamaan mengemuka pula pembahasan tentang konten yang akan diangkut melalui perlalatan mutkahir ini.

Tontonan itu kian mengguratkan keyakinan bahwa tak lama lagi teknologi 3GSM akan menghujam jauh ke tubuh peradaban manusia. Kalau jaringan pita lebar (broad band) sudah merentang pada semua sisi dunia, maka setiap gerak langkah hidup manusia hampir tak bisa dipisahkan dari teknologi GSM (global service mobile). Hanya dalam satu genggaman, manusia merangkum semua hiruk pikuk informasi dunia untuk dirinya.

Makanya tak mengada-ada kalau teknologi ini kemudian mengubah gaya hidup Anda. Bahkan, bisa lebih dari itu, teknologi ini bisa mengubah cara Anda berpikir tentang hidup dan bagaimana Anda hidup. Dalam konteks umat manusia, teknologi ini akan mengubah perabadan.

Karena nantinya bukan saja hanya soal opsi konten yang demikian beragam, tetapi teknologi itu sendiri memaksa orang bagaimana membuat konten dan menyikapi konten sesuai dengan gaya hidup pribadi. Teknologi memaksa Anda membutuhkan dia. Dan Anda pun, kalau tak kuasa memilih konten, akan dipaksa untuk menerimanya begitu saja. Apalagi, iklan dan ‘pesan-pesan elektronik’ tak akan pernah jera menggoda Anda.

Keterpautan

Dampak yang terjadi tentu bisa bermacam-macam. Untuk sementara berhentilah berspekulasi dan mari menyikapinya secara positif. Ada sebuah tema yang layak disimak lebih saksama, yaitu ‘keterpautan’ antar manusia. Kemutakhiran teknologi dan keberaganan konten informasi hanya memandaskan kenyataan berikut ini, manusia memang kian terpaut.

Ada dua pesan sponsor di Barcelona yang menggelitik pengunjung untuk berabstarksi lebih jauh meninggalkan fisik teknologi menuju tema keperpautan ini. Pertama bunyinya demikian, bringing conectivity to life. Pesan yang kedua mengutip pernyataan Gaulli, seorang perempuan Italia berusia 27 tahun yang berujar, my connectivity is my life.

Gaulli seperti memahami akan intisari baru yang menopang peradaban manusia dewasa ini. Keterpautan (connectivity). Ini bukan untuk mengatakan kalau sebelumnya tak pernah ada keterpautan. Bukan. Sebagai makhluk sosial keterpautan sudah ada di sana. Tapi sebelumnya, dia bukan hal yang demikian menentukan kehidupan manusia.

Sebagai perbandingan, mari kita sekilas menyusuri sejarah peradaban. Ketika masih lemah tak berdaya di hadapan alam, manusia memuja dunia supra natural secara membabi buta. Bagi orang-orang di jaman ini, alam supra natural, termasuk Tuhan menurut orang bergama, adalah satu-satunya sumber pembebasan.

Maka pada jaman seperti itu, bentuk-bentuk penyembahan mulai dengan pendasaran yang sederhana pada aliran animis hingga filsafat ketuhanan yang canggih ala Thomas Aquino (thomisme) menjadi tindakan paling berharga dalam peradaban.

Kemudian, ketika manusia mulai ‘belajar’ mengembangkan kekuatannya, keasadaran akan kemampuan otaknya (rasionalitas) dianggap paling menentukan. Cogito, ergo sum (Saya berpikir, maka saya ada), ujar Descartes. Muncul semangat baru, pemujaan terhadap rasionalitas.

Lalu, Karl Marx yang melihat bahwa manusia kian rasional dan kian praktis (menggandalkan teknologi) mulai berteori tentang pentingnya kerja. Dengan kerja, kata dia, manusia bisa mengaktualisasikan diri dan mencapai pembebasan.

Tentu saja, dengan semua apa yang diyakini di atas itu, manusia tidak pernah sampai pada apa yang disebutnya dengan kebebasan. Tapi, sekurang-kurangnya, pada jamannya, nilai-nilai itu dijadikan acuan dan menjadi taruhan oleh umat manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Dan memang demikian, akumulasi pertaruhan akan nilai-nilai itulah yang sering selalu memberi arah dan meninggalkan jejak yang kuat dalam sejarah peradaban umat manusia.

Sekurang-kurangnya pada bangsa Spanyol, atau lebih khusus lagi orang Katalonia yang bermarkas di Barcelona jejak-jejak itu dengan mudah ditemukan. Kendati Spanyol ataupun Katalonia bukan bangsa yang begitu hebat yang layak untuk dielu-elukan..

Kota Barcelona sendiri dibangun oleh seorang pengembara Roma yang bernama Barci. Dari waktu ke waktu Katalonia selalu berada di bawah ancaman para tetangganya seperti Roma, Perancis, Belanda, Britania dan Jerman. Bahkan, Katelonia pernah selama seabad berada di bawah kungkungan bangsa Timur Tengah (yang di wilayah Spanyol selatan seperti Cordoba berlangsung selama 700 tahun dari tahun 700-an hingga 1.400-an).

Tapi, justru di tengah tantangan yang sedemikian hebat, mereka membuktikan bahwa Spanyol dan Katalonia adalah bangsa yang bisa berada di barisan depan peradaban dunia. Lihat saja, pada jamannya, mereka pernah menjadi penganut agama yang hebat. Kehadiran bangunan keagamaan semacam biara di atas pegungunan Montserrat atau ketedral sekelas Segrada Familia merupakan bukti kesungguhan orang Barcelona dalam beragama.

Begitu juga kehebatan Columbus, yang patungnya diabdikan di tepi pantai kota itu, telah meninggalkan jejak-jejak peradaban-- yang diakui atau tidak--telah turut mempengaruhi wajah dunia.

Lalu, ketika manusia kian memegahkan kemampuan individual lewat rasionalitas, kehadiran tokoh seniman seperti Antoni Gaudi tak bisa dilupakan. Kejeniusan arsitektural Gaudi menjadi kota Barcelona sedemikian megah dan memiliki identitas. Tak berlebihan memang, Barcelona disebut kota Gaudi.

Tak berhenti di situ. Saat ini, ketika realitas keterpautan melalui teknologi informasi datang membawa mimpi, Barcelona pun sudah siap menghadapi. Konggres 3GSM dua kali di kota ini merupakan bukti.

Nah, bagiamana dengan kita di negeri ini? Sudah siapkah kita menghadapi kekuatan jejaringan dari teknologi informasi? Bukan hanya siap menjadi pemakai teknologi informasi. Lebih dari itu, siap menjadi pemasok konten, dan siap menghadapi gempuran informasi dan tawaran seni.

Harapannya, alam keterpautan bisa membebaskas kita dari kemiskinan, ketakberpendidikan dan kekerdilan hati. Karema di sana akan tersedia banyak solusi bagi kehidupan yang rumit.

Tapi, tentu saja tidak mudah. Keterpautan selalu menjadi ancaman bagi bangsa yang masih suka hidup gerombolan dalam kerumunan masal. Mengapa demikian?

Karena, pada intinya keterpautan adalah relasi. Dan seseroang baru bisa menjalin relasi secara efektif, kalau dia memiliki otonomi diri yang tinggi. Otonomi merupakan buah kematangan secara individual. Dalam kerumunan masal, tak pernah ada relasi yang sejati. Di sana lebih banyak intimidasi dan manipulasi.

Karena inspirasi keterpautan ini diambil dari Bacercolona, untuk lebih mudah memahami, mari kita analogikan dengan dunia sepak bola. Kesebelasan adalah sebuah keterpautan. Efektifitas relasi antar pemain dalam kesebelasan sangat menentukan keberhasilan.

Dan, biasanya kesebelasan yang baik harus memiliki pemain dengan kemampuan individu yang tinggi (otonomi). Hanya orang-orang sekelas itu, yang bisa memberi kontri busi yang optimal dalam relasi kesebelasan ketika tengah beraksi. Tak heran kalau klub-klub besar seperti Barcelona sangat memberi tempat bagi kemampuan individu yang dimiliki Etoo, Deco, Ronaldinho dan Messi.

Makanya, tonton terus Bercelona! Bukan saja hanya untuk menikmati keindahan bola kaki, tetapi juga untuk mendapat inspirasi saat bergumul dengan ‘connectivity’. Mudah-mudahan era keterpautan menjadi momentum yang membawa pembebasan bagi bangsa Indonesia.

No comments: