Thursday, January 31, 2008

Menunggu Diplomasi Dolar dari Boca Raton

Abraham RungaMali

Tulisan ini pernah dimuat di Bisnis Indonesia tanggal 15 Januari 2004

Mendekatnya posisi dolar AS (US$) pada batas psikologis 1,30 terhadap euro memicu kecemasan yang kian mendalam di antara para pelaku bisnis dunia.
Terbetik sebuah pertanyaan mendasar, ke manakah arah pertarungan bisnis antara negara ekonomi kuat di dunia akan berjalan? Sebab dibalik sentimen sejumlah mata uang dunia tersimpan sebuah peta persaingan ekonomi antara perekonomian Amerika, Jepang, Uni Eropa, Cina dan Rusia.

Persaingan itu layak diamati karena akan memetakan kekuatan ekonomi yang akan menggiring negara-negara ekonomi lemah, termasuk Indonesia untuk terlibat dalam pertarungan tersebut.

Pergerakan The Big Four-US$, yen, euro dan yuan-merepresentasikan dinamika persaingan pusat-pusat perkonomian tersebut.

Terpuruknya nilai US$ pada tahun terakhir menyusutkan keyakinan banyak pihak terhadap dominasi mata uang tersebut. Hal itu sekaligus memudarkan kekuatan perekomian AS yang memposisikan dan mendukung perannya sebagai polisi dunia.

Realitas yang tentunya ditunggu banyak pihak yang sudah muak dengan tontonan kedigdayaan Paman Sam dengan orkestra demokrasi dan Ham-nya yang sangat sering terdengar sumbang.

Munculnya kekuatan baru ekonomi Uni Eropa dan ekspektasi kedatangan Cina sebagai raksasa baru di bidang ekonomi merupakan berita yang terus menggertak para ekonom, pebisnis dan politisi AS.

Pada tahun 2003 misalnya, depresiasi US$ terhadap euro mencapai 20% setelah menyentuh level 1,27. Sementara upayanya untuk menjaga keseimbangan dengan melepas patokan yuan pada posisi level 8,3 untuk setiap US$ tidak mudah dilakukan.

Upaya AS mencari dukungan pada yuan dan yen bisa dipahami karena kedua negara tersebut secara bersama-sama memiliki cadangan mata uang asing dalam komposisi global mencapai lebih dari 50%.

Itulah sebabnya sejak lama, tertekannya US$ mengundang kegundahan yang luar biasa, termasuk dari ekonom sekelas Paul Krugman. Menulis artikel di New York Times, 4 November 2003 berjudul This Can't Go On, Krugman menyarankan agar pengambil keputusan di Washington segera keluar dari kondisi tersebut.

Motif politik

Para politisi di AS malah sudah lebih awal berteriak. Pada 18 Juli 2003, senator Charles Schumer menuduh Cina merupakan penyebab kemandekan dan defisit perekonomian di negara itu. Industri manufaktur AS, tegasnya, bisa terkapar oleh kekukuhan Cina mempertahankan mata uangnya.

Senator Elisabeth Dole juga mengatakan bahwa devaluasi mata uang Cina menyebabkan rendahnya harga barang yang menyulitkan ekspor AS untuk berkompetisi. Lain lagi senator Lindsey Graham yang bahkan meminta agar Menkeu AS melobi Beijing supaya tidak melanjutkan kebijakan yang bersifat devaluatif.

Merespons desakan para politisi itu, Menkeu AS John Snow pun dalam lawatannya ke Asia mendesak Cina untuk membiarkan nilai yuan mengikuti harga pasar. Namun Beijing tidak menanggapi secara serius permintaan AS, justru berbasa-basi dengan mengatakan pengambangan yuan merupakan Agenda pemerintah Cina, tetapi bukan suatu kebijakan yang akan dilakukan segera.

Merasa gagal melobi Cina dan Jepang, AS segera mendekati para menteri keuangan dari tujuh negara industri maju yang tergabung dalam G7 untuk menekan kedua negara tersebut.

Dalam pertemuan tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) di Dubai, 23-24 September, para Menkeu G7 mengeluarkan pernyataan bersama yang mendorong penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas dan mengritik intervensi bank sentral yang berlebihan di pasar uang.

Kegagalan Dubai

Komunike bersama itu membuat Jepang, yang merasa menjadi sasaran pertemuan G-7-selain Cina-mencak-mencak.

Apalagi sepekan sebelum pertemuan Dubai itu, Jepang melalui Gubernur Bank Sentralnya, Bank of Japan, Toshihiko Fukui melakukan intervensi untuk menahan penguatan mata uangnnya agar ekspornya tetap kompetitif.

Permintaan yang sama juga ditujukan untuk melepaskan pematokan yuan yang sudah berlangsung hampir satu dasa warsa.

Selain G7, IMF juga diminta turun tangan agar yuan dan mata uang Asia lainnya dibiarkan terapreasi terhadap US$. Kalau tidak, stabilitas perekonomian global bakal terancam.

Menurut Kenneth Rogoff, ekonom dari IMF, kalau saja Asia menolak untuk membiarkan mata uangnya mengalami apresiasi, maka dampak buruk akan menghantam dunia, terutama Eropa.

Namun sebagian pengamat mengatakan alasan tersebut belum terlalu tepat, mengingat sekitar 60% ekspor dari kawasan Uni Eropa masih dipasarkan untuk kawasan tersebut.

Tentu saja lobi Dubai tidak mencatat hasil yang optimal kalau tidak disebut gagal. Karena setelah itu, US$ masih terus terpuruk. Bahkan hingga awal perdagangan tahun ini membengkaknya defisit neraca dan anggaran AS terus menekan US$.

Pada Kamis pekan lalu, US$ sempat menguat dan mencapai level 1,27 terhadap euro dan 107 hingga 108 terhadap yen.

Tetapi setelah AS mengumumkan angka lapangan kerja yang jauh dari ekspektasi pasar, pada transaksi Jumat, US$ kembali melemah ke posisi 106,8 yen dan 1,28 per euro.

Memang para analis pasar uang masih optimistis terhadap kinerja US$. Defisit anggaran AS, harga komiditas bahan baku yang tinggi dan kebijakan luar negeri AS yang kontraproduktif masih bisa diimbangi dengan eskepktasi pertumbuhan perkonomian negara tersebut yang kian membaik.

Para analis bahkan merevisi perkiraan mereka terhadap pertumbuhan ekonomi AS. Berdasarakan pendapat 50 ekonom di negara tersebut, perkiraan pertumbuhan Produk Domestik Bruto Paman Sam disepakati mencapai 4,6%. Sebuah angka pertumbuhan yang cukup besar sejak 1984 yang mencapai 7,2%.

Apalagi The Fed masih memiliki kartu as untuk menaikkan suku bunga yang diperkirakan terjadi pada kuartal kedua tahun ini.

Kalau itu yang terjadi, dana yang tertarik keluar dari AS akan kembali berimigrasi ke negeri asalnya dan segera membelanjakan US$. Hal itu diperkirakan akan menjadi sentimen positif yang mendongkrak kinerja mata uang tersebut.

Apalagi Masyarakat Uni Eropa tidak sepenuhnya meraup keuntungan dengan penguatan euro. Banyak pihak yang mengatakan 1,30 euro untuk 1US$ merupakan batas priskologis.

Karena kalau tidak produk dari kawasan tersebut akan tidak kompetitif. Haruslah diakui bahwa kinerja ekonomi Eropa tidaklah sekuat yang dibayangkan.

Untuk Jerman sendiri tentu tidak terlalu bermasalah. Karena untuk tahun lalu negara yang menjadi motor perekonomian di Eropa mengalami surplus perdagangan. Apalagi ekspor Jerman ke AS hanya mencapai 10%, sementara 50% adalah untuk kawasan Eropa sendiri.

Tetapi, Eropa bukanlah Jerman. Ketidakkompakan antar negara Uni Eropa dan kerentanan perekonomian sejumlah negara di kawasan tersebut diperkirakan tidak akan menjadi basis yang cukup tangguh untuk menopang kinerja mata uang kawasan tersebut.

Memang pergerakan mata uang global saat ini berada dalam titik yang membahayakan. Presiden Bank Sentral Eropa (ECB) Jean Claude Trichet, seusai pertemuan para bankir dari bank sentral negara G-10 mengatakan melemahnya US$ berada pada titik yang membahayakan. Eropa, lanjutnya, tidak menghendaki kemerosotan mata uang AS yang semakin tajam.

Bahkan Perdana Menteri Prancis Jean-Pierre Raffain mendesak otoritas moneter Eropa untuk membawa euro pada tingkat yang lebih seusai dengan kondisi perekonomian Eropa dan AS. Karena persoalannya bukan hanya kedua kawasan tersebut, tetapi dunia.

Pertemuan Boca Raton

Berbagai peringatan para pemimpin ekonomi dan negara tersebut seakan mempersiapkan sebuah pertemuan G7 yang segera digelar di Boca Raton, Florida, Februari mendatang. Pada pertemuan tersebut, AS diperkirakan akan kembali melobi negara yang tergabung dalam kelompok G7 untuk kembali menekan Gubernur Sentral Zhou Xiachuan untuk melakukan reformasi terhadap rejim mata uangnya.

Stephen Jen, ahli strategi valas dari Morgan Stanley seperti dikutip sebuah kantor berita, yakin Eropa dan Jepang akan mendukung AS dalam upaya tersebut. Berbagai kecemasan dan lobi tersebut seakan meyakinkan analis dari Goldman Sachs bahwa Cina dalam kuartal pertama tahun ini akan merevaluasi mata uangnya.

Kendati kebutuhan revaluasi yuan untuk mendukung stabilitas mata uang dunia sebesar 10%, fund manager itu memperkirakan untuk tahap pertama hal itu akan dilakukan sebesar 2,5%.

Bahkan dalam prediksi terakhir, Goldman Sachs lebih jauh meyakini bahwa Cina kemungkinan juga akan mereformasi sistem mata uangnya dari pematokan secara langsung dengan US$ pada level 8,3 menuju sistem keranjang yang mengaitkan yuan dengan sejumlah mata uang lainnya, termasuk yen dan euro.

Akankah prediksi itu menjadi kenyataan? Kita tunggu lobi AS dalam pertemuan G7 di Boca Raton. Lebih dari itu, kita berharap G7 melakukan peran yang lebih besar, tidak sekadar menjaga stabilitas mata uang negara ekonomi kuat yang saat ini terlibat dalam sebuah pertarungan, melainkan terciptanya sebuah arsitektur ekonomi dunia yang lebih adil bagi negara-negara miskin yang tertimpa utang dan pasarnya gampang diintervensi pemain-pemain global. Sebuah harapan yang panjang, dan bukan tidak mungkin pula menjadi sekadar impian yang terus bertiarap.

No comments: