Wednesday, January 23, 2008

Semilir Surgawi dari Lantai Bursa

Abraham Runga Mali

Bisa dipahami kalau orang-orang yang taat beragama pada awalnya menaruh curiga pada pasar modal. Menurut mereka, saham itu adalah derivatif terkini dari perjudian. Lebih dari itu, tidak sedikit dari tumpukan kertas-kerta berharga itu mewakili unit usaha yang bukan saja bisa dikelola oleh 'tangan-tangan kotor', tapi bidang usaha yang digeluti pun berada di 'lumpur dosa' yang tentu ditentang oleh norma agama. Kalau demikian, begitu pandangan mereka, 'bertandang' ke pasar modal itu mirip dengan merintis jalan ke neraka.
Tapi, pandangan itu sudah ketinggalan. Yang berpandangan bahwa bermain saham itu identik dengan perjudian pun sudah tinggal segelintir orang. Para penjaga kebenaran itu pelan-pelan mulai menyadari kalau antara keduanya terdapat perbedaan yang mendasar.

Di bursa saham transaksi selalu dilengkapi dengan informasi. Sesuatu yang tidak ada kalau Anda duduk di meja perjudian. Di situlah letak perbedaan antara keduanya. Di perjudian hanya ada untung-untungan. Di sana hanya ada spekulasi yang membuat kalah atau memang seperti sebuah takdir yang harus diterima begitu saja.

Di pasar modal tentu tidak. Ada propektus perusahaan, ada riset dan analisa yang dirilis secara rutin dan teratur. Sebagai pelaku, Anda tinggal mendesak agar informasi itu disediakan secara transparan dan dibagikan secara merata kepada semua pihak. Jangan ada informasi yang disembunyikan. Tidak pula ada informasi khsusus yang diberikan kepada orang-orang khusus pula.

Selain itu, otoritas bursa, dalam hal ini BEJ, bersama pengawasnya, Bapepam, menjaga agar transaksi yang terjadi di lantai bursa itu adil, informasi yang disediakan akurat dan infrastruktur pasarnya optimal.

Berdasarkan informasi itu , tinggal Anda memutuskan secara bebas untuk membelinya atau tidak. Anda yang menanggung risikonya. Bukan hanya risiko finansial. Tetapi juga risiko spiritual terutama bagi Anda yang meyakini kalau keputusan 'menjual' dan 'membeli' saham tidak hanya beurusan dengan 'duit yang tebal' di kantong, tapi juga berurusan dengan 'jiwa yang tentram' di surga.

Banyak pemodal Indonesia yang ingin masuk ke pasar modal sebenarnya masih kuatir kalau risiko surgawi ini tak bisa dikelola secara optimal di sana. Tapi beruntung akhirnya Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) dan para pelaku pasar cepat tanggap dan segera turun tangan. Lihat saja berkat jasa mereka sekarang sudah ada reksa dana syariah, obligasi syariah dan indeks syariah. Bahkan sedang digodok pula peraturan yang menjadi landasan legal bagi pasar modal syariah.

Khusus mengenai Jakarta Islamic Index (JII), seperti diakui Iwan Pontjo yang ikut membidaninya kalau pebentukan indeks itu secara tidak langsung didorong oleh kepentingan Danareksa Fund Management yang pada saat itu dikomandaninya.

Ceritanya berawal dari pertengahan 1997 ketika Danareksa hendak meluncurkan reksa dana syariah. Perusahaan sekuritas itu membutuhkan indeks yang menjadi acuan bagi pengelolaan dananya.

Pada Juni 2000 terbentuklah JII. Tentu saja itu itu hasil kerja sama antara Dewan Syariah Danareksa bersama BEJ. Indeks itu ditopang oleh 30 saham yang diseleksi oleh kedua lembaha tersebut.

Pertama-tama mereka mengumpulkan semua saham yang jenis usahanya tidak bertentangan dengan syariah dan sudah dicatatkan lebih dari tiga bulan.

Setelah itu, ditakar rasio kewajiban terhadap aktiva berdasarkan laporan kuangan tahunan dan semester terakhir. Yang lolos seleksi adalah saham dari emiten yang memiliki rasio kewajiban terhadap aktiva minimal 90 persen.

Lalu, dipilih 60 saham yang lolos dari kriteria di atas dan selanjutnya disusun berdasarkan besaran kapitalisasinya. Terkahir adalah memilih 30 jenis saham dengan urutan berdasarkan tingkat likuiditas dalam perdagangan reguler selama satu tahun teakhir. Begitulah 30 jenis saham itu dievaluasi setiap enam bulan dan dipilih lagi dengan proses selekesi yang sama.

Kinerjanya menggembirakan

Setelah berjalan empat tahun, kinerja JII termasuk lumayan dan bergerak mengikuti trend indikator saham gabungan di Bursa Efek Jakarta. Pada 2004 misalnya, JII mengalami kenaikan 42,796 poin dari 122,079 pada awal tahun menjadi 164,875 pada akhir tahun, atau naik sebesar 35,05 persen. Sementara IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) mengalami kenaikan 299,932 atau sebesar 42,57 persen

Cacatan kinerja itu cukup menggembirakan.Maklum saja saham-saham yang terjaring di JII adalah jenis saham yang cukup prospektif. Tapi, apakah JII sudah berfungsi optimal sebagai benchmark bagi para pelakunya?

Untuk soal yang satu ini Iwan Pontjo lebih memilih diam kendati dia ikut membidaninya dari awal. "Saya sudah lama tidak terlibat lagi sehingga tidak bisa memberi jawaban.Itu bisa ditanyakan kepada pelaku pasar. Biar lebih lebih obyektif," ujarnya kepada Bisnis Uang pekan lalu.

Iggi H. Ahcsien, Manajer Syariah Unit Investment Banking AAA Secuerities, mengakui kalau para manajer investasi reksa dana syariah merasakan manfaat dari kehadiran JII yang bisa dijadikan sebagai patokan selama ini. "Semakin banyak reksa dana syariah yang diluncurkan maka makin besar pula kebutuhan pelaku pasar akan indeks ini," jelasnya.

Saat ini sedikitnya terdapat sembila reksa dana syariah seperti BIG Dana Syariah, BNI Dana Syariah, Dompet Dhuafa-BTS Syariah, I-Haji Syariah Fund, Reksa Dana PNP Dana Syariah Sejahtera. Kelima reksa dana ini termasuk dalam reksa dana pendapatan tetap. Empat lainnya adalah reksa dana campuran, yaitu AAA Syariah Fund, Batasa Syariah, Danareksa Syariah Berimbang dan Reksa Dana PNM Syariah.

Hanya lebih lanjut dia mengingatkan bahwa JII akan lebih optimal kalau di pasar modal Indonesia segera dirilis semua jenis saham yang termasuk halal di BEJ. Biar para pelaku pasar tidak hanya membatasi diri pada 30 saham itu . "Biar makin banyak pilihan bagi pemodal dan fund manager yang mengelola reksa dana syariah," ujarnya.

Selain itu, bila perlu ada indeks syariah lain selain JII. Biar ada pembandingnya seperti yang ada di pasar modal Malaysia. Danareksa atau institusi keuangan lain misalnya, lanjut dia, bisa membentuk indeks syariah sendiri.

Sepertinya belum puas dengan JII, seorang manajer investasi reksa dana syariah yang enggan disebutkan namanya meminta agar proses seleksi dalam pemilihan 30 saham yang menopang indeks itu harus dilakukan lebih ketat lagi.

Karena selain tercatat saham-saham yang prospektif seperti Indosat, Telkom, masih ada saham-saham yang kurang atraktif di JII. Bisa karena sektor usaha yang tidak menarik, bisa juga karena kinerja yang kurang optimal. Hal ini, jelas dia, akan menyulitkan manajer investasi reksa dana syariah untuk melakukan diversifikasi dengan menempatkan saham-saham seperti Telkom dan Indosat dalam satu keranjang portofolio dengan sejumlah saham lain yang kurang menarik itu.

Bahkan, dia lebih jauh lagi berpendapat. Dalam kriteria saham-saham itu, perlu dicantumkan juga soal citra publik para pengelola emiten itu. "Dalam daftar yang sekarang ini masih ada satu dua saham yang emitennya dimiliki oleh konglomerat bermasalah. Ini yang harus dievaluasi lagi".

Keluhan-keluhan para pelaku pasar itu seakan mengakui kalau jalan ke surga melalui pasar modal memang masih berliku. Tapi, tak ada alasan bagi Anda untuk tidak menikmati semilirnya sekarang juga.

No comments: