Tuesday, January 22, 2008

Ekonomi Alternatif bagi Bangsa yang Retak

Abraham Runga Mali

Di tepi Sungai Donau, dua pekan lalu, Perki (Persatuan Kristen Indonesia) Eropa menyelenggarakan seminar untuk mem-peringati peristiwa Sumpah Pemuda 75 tahun lalu.
Seminar yang melibatkan Kedubes RI di Austria dan Slovenia, Keluarga Kristen Indonesia Austria (KKIA), dan Wadah Pengajian Austria (Wapena) itu menghadirkan pembicara Mubyarto (kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM), Samodra Sriwidjaja (dubes RI untuk Austria), dan Mangara Sihombing (dirjen Deplu dan mantan Ketua Perki Eropa).

Pertanyaan yang hendak dijawab, bagaimana membangun lagi semangat kebangsaan Indonesia yang retak akibat krisis multidimensi.

Ernest Joseph Renan mengatakan kebangsaan adalah prinsip spiritual yang dibangun pada kenangan bersama (masa lalu) dan keinginan atau kehendak untuk hidup bersama lagi (masa depan) berdasarkan situasi saat ini (masa kini). Jadi, kebangsaan bukan sesuatu yang kekal.

Dengan kata lain, kalau mau eksistensi bangsa tetap ada, perlu harus di-perjuangkan. Perjuangan agar orang tetap berkeinginan dan berkehendak untuk berada dalam kebersamaan itu.

Bukankah berbagai krisis yang mendera Indonesia menciutkan semangat sebagian orang untuk mengakui Indonesia sebagai bangsanya dan tidak merelakan dirinya untuk diikat dalam kebersamaan sebagai satu bangsa dengan yang lain?

Satu alasan yang hendak disoroti adalah sistem pembangunan dan aplikasi sistem ekonomi yang dipakai Orde Baru yang menyebabkan ketidakadilan sosial. Perbedaan antara pusat dan daerah, Indonesia bagian Timur dan Indonesia bagian Barat, Jawa dan luar Jawa, yang kaya dan miskin makin lebar.

Dalam keadaan demikian, banyak daerah dan kelompok yang berkehendak melepaskan diri. Pengalaman ketidakadilan membuatnya enggan untuk hidup sebagai warga bangsa Indonesia.

Sebagian lain ma-sih dalam taraf mempertanyakan, apa faedahnya kita bersatu dalam satu bangsa dan satu tanah air, kalau hal itu membuahkan kemiskinan dan ketidakadilan?

Apa yang dilakukan oleh GAM, OPM, dan fundamentalis Islam yang ingin mendirikan negara berdasarkan agama harus dimengerti dalam perspektif demikian.

Untuk jangka pendek, bisa dipahami juga kalau militer sebagai penjaga ideologi kesatuan mengambil jalan kekerasan untuk menumpas kelompok separatis. Tapi, itu solusi sementara.

Ideologi negara kesatuan adalah sesuatu yang abstrak dan tak berhubungan langsung dengan hak setiap individu untuk hidup layak dan bermartabat.

Artinya, yang lebih fundamental, tercetus pernyataan "mau menjadi anggota warga negara bulan atau matahari, bukan persoalan. Yang penting hidupku layak dan bermartabat".

Karena itu, yang paling penting adalah koreksi terhadap sistem pembangunan, baik sistem pembangunan ekonomi maupun pembangunan bidang lain seperti sosial, politik dan kebudayaan.

Inkulturasi ekonomi

Menurut Mubyarto, kekeliruan dalam perekonomian dapat dilihat dari tingkat pengisapan yang dilakukan terhadap daerah baik oleh pemerintah pusat maupun investor asing.

Dengan membandingkan nilai PDRB (per kapita) dengan nilai pengeluaran konsumsi per kapita, tingkat pengisapan bisa ditakar. Hasilnya memang mengerikan.

Pada 1996, demikian hasil perhitungan Mubyarto, provinsi kaya seperti Kalimantan Timur, Riau, dan Papua, memiliki derajat penghisapan 87%, 80%, dan 78%.

Artinya dari setiap 100 nilai PDRB, bagian yang dinikmati penduduk setempat hanya 13% (Kaltim), 20% (Riau), dan 22% (Papua). Selebihnya dinikmati oleh investor asing.

Sementara, DKI Jakarta yang menjadi pusat peredaran uang Indonesia juga dihisap pemodal asing yaitu 72%, atau hanya 28% yang dinikmati warga Jakarta.

Data-data itu menguak bentuk kolonialisme ekonomi. Bentuknya mirip saat bangsa Indonesia masih hidup di era kolonialisme Belanda.

Belanda bekerja sama dengan sebagian besar raja dan priyayi zaman itu mengeruk kekayaaan Indonesia. Sekarang, pemodal asing dari negara industri dan para konglomerat besekongkol dengan para pejabat negara melakukan hal yang sama.

Dalam konteks ini, ada relevansi semangat kebangsaan dan kemauan untuk merdeka yang dimiliki para pemuda 75 tahun lalu.

Semangat yang sama diperlukan untuk menghantam korupsi yang dilakukan pejabat negara dan konglomerat serta mewaspadai sistem ekonomi neoliberal yang datang dari negara industri maju.

Itu syarat mutlak kalau bangsa Indonesia ingin keluar dari perbudakan ekonomi. Menggugat sistem perekonomian neoliberal dan kapitalis serta upaya melawan KKN di Indonesia merupakan perjuangan terus-menerus.

Tak ada cara lain melawan KKN kecuali melalui penegakan hukum yang serius. Pemerintah terus diawasi dan didorong untuk melakukannya.

Menggugat sistem ekonomi neoliberal dilakukan dengan mencari sistem perekonomian yang sesuai dengan kebudayaan Indonesia (inkulturasi ekonomi).

Inkulturasi pertama dikenal dalam dunia keagaamaan yaitu bagaimana ajaran agama yang berasal dari dunia lain dimengerti dan diaplikasi dengan cara berpikir dan kebudayaan setempat.

Tanpa inkulturasi, secara tak sadar kita mengakui dominasi kebudayaan di mana agama itu lahir dan berkembang. Karena agama itu lahir dalam konteks kebudayaan setempat dan ungkapan kebenaran.

Dalam konteks ekonomi, melakukan inkulturasi berarti mengembangkan ilmu dan sistem perekonomian yang sesuai dengan kebudayaan dan ideologi yang dianut di Indonesia.

Upaya mengembangkan perekonomian alternatif atau ekonomi kontekstual juga sudah dilakukan di tempat lain setelah menyaksikan kegagalan ekonomi sosialis-komunis dan kapitalis dalam menyejahterakan bangsa-bangsa di dunia.

Menerapkan sistem ekonomi neoliberal dan mengajarkan ilmu ekonomi ala Amerika ternyata tidak memberi kesejahteraan bagi bangsa dan negara Indonesia.

Jadi, sistem ekonomi Pancasila yang dipikirkan oleh Mohammad Hatta dan sekarang diperjuangkan Mubyarto sebenarnya bukan ilusi.

Sekilas penjelasannya bisa diuraikan seperti berikut. Ekonomi Pancasila adalah perekonomian dengan sistem pasar yang diterapkan berdasarkan pada sila-sila dalam Pancasila.

Perekonomian itu harus berwatak religius dan humanis (sila I dan II), harus mempertimbangkan pemerataan seluruh Indonesia dan manfaatnya langsung dinikmati masyarakat kecil (sila III dan IV), serta tujuannya adalah keadilan sosial (sila V).

Nilai-nilai perekonomian yang demikian memang bertentangan dengan ekonomi neoliberal yang berwatak kapitalis dan individualis.

Tentu nilai-nilai yang terdapat dalam sistem perekonomian Pancasila bukan khas Indonesia sebagaimana yang dikembangkan Hatta atau Mubyarto.

Pemikiran E.F. Schumacher dalam bukunya Small Is Beautiful (Economics as if People Mattered) pada 1973 juga secara jelas berseberangan dengan pemikiran Adam Smith dalam Wealth of Nations tahun 1776 yang menjadi cikal bakal sistem perekonomian neoliberal.

Dengan mengambil prinsip budhistis yang tidak terlalu menekankan prinsip kepuasan maksimum, persaingan yang terdorong nafsu untuk menguasai orang lain serta berupaya dengan kekuatan sendiri, banyak komentator mengatakan bahwa dia sebenarnya menjelaskan lebih jauh perekonomian yang dikembangkan Gandhi.

Membaca pemikiran Mohammad Hatta atau Mubyarto terasa kedekatannya dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan Schumacher.

Hal itu bisa dimengerti karena mengembangkan ekonomi Pancasila, berarti kita kembali pada akar kebudayaan Indonesia yang tentu tidak jauh dari unsur-unsur Hindu dan Budha yang meninggalkan jejak sangat kuat di Indonesia.

Ekonomi Pancasila bisa dicari pendasarannya pada prinsip teologis agama Islam dan Kristen. Kedua agama tersebut juga menolak baik sosialisme marksis maupun kapitalisme liberal.

Memang, kapitalisme berkembang di Eropa dan Amerika, tapi hal itu tidak keluar dari penafsiran yang tepat dari pinsip-prinsip kekristenan.

Kritik Erich Fromm terhadap masyarakat Eropa perlu disimak kembali. Dia mengatakan watak Eropa yang keras dan imperialistis tidak mengambil bentuk dari kekristenan yang mengajarkan kasih dan kelembutan.

Pemikir Islam Mohammed Al-Saqaf dalam Ethics in Economy juga mengatakan praktik ekonomi yang berciri kapitalistis dan bebas etika itu menurut Islam terlaksana di dunia barat yang diwarnai oleh agama Kristen, akan tetapi praktik itu tidak merupakan penerapan yang tepat atas filsafat ekonomi kristen.

Bahkan sebaliknya, Paus Pius XI dalam ensiklik Quadragesimo Anno, jelas-jelas menolak liberalisme maupun sosialisme.

Pemikiran teologis Islam lebih tegas lagi berseberangan dengan prinsip kapitalisme liberal dan komunisme.

Mohd. Najatullah Siddiqi dalam Muslim Ethics in a Modern Economic System menegaskan sikap ekstrim individualisme dan komunisme tak pernah bisa berkembang subur dalam umat Islam yang memang berdasarkan hak milik dan kewiraswastaan, tetapi selalu mengakui hak kaum miskin untuk dibantu dan dikembangkan.

Dalam sejarah, baik Islam maupun Kristen lebih jauh bahkan pernah membentuk sosialisme khas Islam atau pun Kristen. Sesudah Perang Dunia II ada usaha untuk membentuk hal itu.

Di bawah pimpinan Gamal A. Nasser pada tahun 1957, sosialisme demokratis dan koperatif diangkat menjadi ideologi resmi di Mesir.

Pada saat itu, diskusi sekitar Islam dan sosialisme mencapai puncak. Tapi kemudian kembali redup pada dasawarsa tujuh puluhan.

Usaha membentuk sosialisme sendiri tidak menghasilkan berkat yang diharapkan, lalu istilah sosialisme menjadi kurang menarik.

Misalnya, kendati berusaha membangun sosialisme sendiri, baik Islam maupun Kristen tetap mengakui milik pribadi, ekonomi pasar, dan kompetisi sebagai dasar bagi tatanan itu.

Sejumlah pengkritik memberi komentar bahwa baik Islam maupun Kristen juga kapitalis karena mengakui ketiga unsur tersebut.

Apa yang diajarkan etika ekonomi Islam dan Kristen kelihataan sangat ideal. Hanya kelemahan dalam mengaplikasinya, membuat tawaran-tawaran itu hanya tinggal pada teori dan ajaran.

Keragu-raguan yang merupakan ciri khas jalan tengah ini mempersulit para pencetus sosialisme tersebut untuk menemukan formulasi dan pentahapan yang gamblang yang bisa segara diterapkan.

Kesulitan sama muncul saat kita membahas ekonomi Pancasila yang sangat berhati-hati pada semangat kompetisi. Bagaimana merumuskan semangat gotong royong dalam perekonomian nasional agar bangsa ini tidak kalah bersaing dalam percaturan internasional?

Bagaimana menempatkan koperasi sebagai soko guru perekonomian? Bagaimana sikap kita terhadap modal asing agar kita tidak dikucilkan negara lain? Bagaimana penerapan UU Monopoli? Bagaimana jaminan sosial dan perlindungan terhadap yang miskin dan terlantar bisa dirumuskan? Masih banyak pertanyaan yang harus dijawab agar Ekonomi Pancasila tidak hanya menjadi mimpi-mimpi Mohamad Hatta dan Mubyarto.

Ekonomi pasar sosial

Meski tak sekeras ekonomi Pancasila, ekonomi pasar sosial yang dikembangkan di Jerman merupakan bentuk protes terhadap pasar bebas (laissez-faire) yang diwarisi dari abad 18 dan 19, serta ekonomi terpimpin ala Adolf Hitler dan ekonomi sistem komunis yang diterapkan negara Jerman Timur.

Kritik terhadap sistem kapitalis merupakan sebuah tradisi yang kuat di Jerman bersamaan dengan munculnya Karl Marx. Selanjutnya sejumlah pemikir seperti Ludwig Erhard dan beberapa yang lain seperti Aleksander Reustow, Walter Eucken, Franz Boehm, Wilhem Roepke, dan Alfred Muller-Armack melalui kajian ilmiah yang panjang berhasil mencetuskan ekonomi pasar sosial sebagai jalan tengah antara sistem sosialis-komunis dan sistem kapitalis.

Berbeda dengan kapitalisme, ekonomi pasar sosial menggabungkan daya pasar bebas dengan pembatasan dan perlindungan melalui undang-undang sosial dan memberikan tempat integral bagi intervensi negara untuk mengoreksi daya pasar itu. Itu berarti, sistem tersebut tetap mengakomodir unsur sosialisitis.

Sistem pasar sosial berdiri di atas dua pilar: pasar bebas dan kontrol negara, tanpa memberi peranan dominan kepada salah satunya. Ia menempatkan keduanya di bawah kesejahteraan manusia, masyarakat, dan persekutuan negara dan bangsa.

Dengan segala keterbatasannya, ekonomi pasar sosial merupakan penerapan ajaran etika yang sesuai dengan ajaran Kristen.

Itulah sebabnya setelah Perang Dunia II, ekonomi pasar sosial yang diperkenalkan Ludwig Erhard diambil alih oleh ketua Partai Kristen Demokrat (PKD), Kondrad Adenaur, sebagai program utama partainya.

Pada Pemilu 1949 PKD memenangkan Pemilu dengan menjual ide ekonomi pasar sosial dan Ludwig Erhard diangkat menjadi menteri ekonomi.

Upaya Jerman menerapkan ekonomi pasar sosial dinilai berani karena saat itu Jerman berada di bawah bayang-bayang kekuasaan sekutu yang adalah penganut sistem ekonomi pasar bebas.

Apalagi saat itu Amerika Serikat mengucurkan dana yang luar biasa melalui Marshall Plan guna membantu perekonomian Jerman yang hancur berantakan akibat kekalahannya pada Perang Dunia II.

Setelah setengah abad pelaksanaan ekonomi pasar sosial melalui tarik-menarik antara kutub sosialisme dan kapitalisme, Jerman memperlihatkan keberhasilan ekonomi yang luar biasa.

Keberhasilan itu adalah peringatan bagi bangsa Indonesia bahwa sistem Ekonomi Pancasila bukanlah mengada-ada. Selain sesuai dengan kebudayaan dan ideologi bangsa, sistem tersebut mendapat pendasaran pada semua agama di Indonesia.

Sekarang tinggal menunggu partai-partai politik mengambilnya, menjadikannya sebagai program, dan kemudian menerapkanya.

Siapa tahu, itu adalah jalan untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia yang lebih bermartabat .

Kalau tidak, gugatan kita terhadap ekonomi neoliberal hanya tinggal wacana. Lalu, Mubyarto tetap menjadi 'nabi' yang kesepian yang terus bersuara, bukan hanya dari Yogyakarta, tapi bahkan hingga jauh dari pinggir Sungai Donau di Austria.

No comments: