Monday, January 21, 2008

Salib di Pundak Ratzinger

Oleh Abraham Runga Mali

Tulisan ini dibuat pada saat Ratzinger terpilih jadi paus menggantikan Yohanes Paulus II.

Pada 24 November tahun lalu, wartawan Marco Politti dari surat kabar La Repubblica, Italia, memancing pendapat Josef Ratzinger soal figur Paus di abad 21. Ratzinger menolak membuat perkiraan.
“Saya tidak mau membuat prediksi. Soal siapa yang menjadi Paus baru akan selalu membuat kejutan. Yang pasti, Paus akan selalu datang untuk menghadapi tantangan zaman.”
Ketika kemarin Ratzinger dipilih menjadi Paus pengganti Yohanes Paulus II, dunia memang tidak sepenuhnya terkejut. Banyak yang sudah memperkirakan kalau Kardinal asal Bavaria, Jerman, menjadi salah satu calon kuat.
Dan memang terbukti. Dia menjadi Paus ke 265 dan menjadi Paus ke delapan yang berasal dari Jerman dengan menyandang nama Benediktus XVI.
“Dia memang orang yang tepat. Dengan menjadi Paus dia menjadi kebanggaan semua bangsa Jerman, “ ujar Kanselir Jerman, Gerhard Schroeder. Tidak sedikit memang yang menaruh harapan yang besar ke pundak Ratzinger.
Benar, kita tidak bisa menduga apa yang terlintas di kepala para Kardinal sehingga mereka menjatuhkan pilihannya pada Ratzinger. Yang pasti, Paus yang sekarang ini berusia 78 tahun itu sudah sendiri meyakini bahwa menjadi Paus harus menjawab tantangan zaman. Kalimat yang akhirnya mengikat dirinya.
Apalagi, menjadi Paus pada sebuah zaman dengan sekian macam persoalan. Begitu banyak tantangan sehingga banyak orang pun meragukan apakan Ratzinger memang pas untuk jabatan dengan kekuasaan dan tanggung jawab yang sangat besar itu.
Keraguan itu bukan tanpa alasan. Terutama bagi mereka yang cukup mengenal siapa Ratzinger sebenarya. Beda dengan Yohanes Paulus II, penduhulunya yang lebih mendalami filsafat dan sastra, Ratzinger adalah seorang teolog yang jenius dan disegani, Itulah sebabnya dia dipercayakan untuk mengepalai komisi iman dan kebenaran Gereja Katolik di Vatikan.
Sebuah tugas yang membuat dia dikenal sebagai pengawal kemurnian ajaran Katolik.
Ratzinger yang konservatif harus konsisten untuk bersikap tegas terhadap berbagai persoalan seperti aborsi, perceraian, perkawinan pasangan sejenis dan sejumlah persoalan lainnya yang juga secara tahu dan mau dipraktekan oleh orang katolik sendiri.
Ratzinger memang dari awal sangat konsen pada dekadensi moral yang menimpa dunia, juga menimpa umat katolik. Dekandensi yang tentu tidak bisa terlepas dari semangat jaman yang materialistis dan mengagungkan kebebasan pribadi.
Paus baru ini mungkin nanti akan terus bersuara, dan kemungkinan suara itu akan dianggap sepi oleh dunia. Itulah tantangannya. Bahkan, tidak mungkin semakin banyak orang meninggalkan gereja. Makanya tak usah heran kalau gereja main sepi dikunjungi pengikutnya di Eropa dan Amerika. Orang tidak berminat lagi pada institusi Gereja. Tidak banyak lagi anak-anak muda katolik yang berminat menjadi imam, biarawan dan misionaris.
Mungkinkah sebagai Paus, Ratzinger dengan modal kejeniusan berteologi dan konsistensinya dalam moral akan memperbaiki Gereja Eropa dan Amerika Serikat?
Masihkah hidup menggereja di jaman modern ini harus tetap ditafsirkan dengan pendekatan institusional? Bukankah sudah semakin banyak orang yang tidak tertarik lagi dengan ritus dan sakramen-sakramen dalam Gereja? Padahal, mereka pun tidak serta merta menjadi tidak beriman dengan menggugat institusi yang bernama gereja itu. Ini sebuah tantangan lain yang dihadapi Paus Benediktus XVI..
Terhadap institusi gereja katolik pun, Ratzinger harus menyelesaikan berbagai persoalan internal. Teolog seperti Hans Kung menunjukan persoalan sentralisasi hirarki dan rendahnya keterlibatan kaum perempuan dalam Gereja merupakan persoalan yang harus dihadapi pempinan yang baru ini. Desakan agar pastor boleh menikah—karena semakin banyak kasus pelecehan seksual di kalangan para imam--seakan melengkapi persoalan tersebut.

Kesenjangan Utara-Selatan

Belum sampai di situ, Paus Benediktus harus menghadapi kesenjangan yang kian lebar antara negara-negara kaya di Utara dengan negera-negara miskin di Selatan. Kesenjangan yang kian dipertegas oleh praktek kaptalisme sangat liar. Itulah sebabnya banyak tuntutan agar Ratzinger sebagai pimpinan tertinggi harus memperkeras suara profetik yang menentang penyalagunaan pasar bebas dan ekonomi yang kapitalistik itu.
Melihat Ratzinger yang berasal dari Eropa, banyak orang katolik dari wilayah Selatan, khususnya dari Amerika Latin, yang skeptis dengan kemampuan Paus Benediktus XVI. Dia tidak memiliki pengalaman dengan kemiskinan.
Tak tanggung-tanggung sikap skpetis itu datang dari seorang Frei Bretto, pastor dominikan yang pernah menjadi penasihat dekat Presiden Brasilia Luiz Lula da Silva.
Seroang pemimpin Gereja yang tidak mengenal persoalan dunia memang sangat mencemaskan. “Paus harus menyadari bahwa pejuangan untuk mengatasi kemiskinan adalah hak dari mereka yang menderita,” tegas Bretto.
Seroang tokoh teologi pembebasan, Leonardo Boff, seroang mantan imam fransikan yang juga dikucilkan Gereja—tentu atas masukan Ratzinger—juga mengungkapkan kekecewaannya atas terpilihnya Ratzinger. Boff menuduh Ratzinger sebagai pemimpin gereja yang muak dengan gerakan pembebasan.
Litania persoalan yang harus dihadapi Ratzinger memang belum berakhir. Termasuk tentu adalah kemampuan Ratzinger untuk meneruskan dialog dengan agama-agama lain, terutama dengan agama Yahudi dan Islam. Keteguhan Ratzinger dalam membela kemurnian ajaran kristen—terutama melalui pendapatnya selama ini—dikuatirkan bisa menghalangi upaya dialog dengan agama lain seperti yang sudah dibangun pendahulunya, Yohanes Paulus II.
Begitu juga kekuatiran dari para petinggi Gereja Protestan dari Jerman yang hingga saat ini bahu-membahu dengan Gereja Katolik di negara itu membangun upaya ekumene, yaitu persatuan antara kedua gereja itu.
Seorang uskup dari Gereja Protestan di Freiburg misalnya berterus terang kalau dia kurang terlalu berbahagia dengan terpilihnya Ratzinger sebagai Paus. Dia menilai Ratzinger kurang mendukung upaya ekumene itu.
Terutama ketika para pejabat Gereja di Vatikan—tentu di bawah komisi Ratzinger--melarang pelaksanaan perayaan ekaristi secara bersama-sama antara umat protestan dan katolik.
Padahal di Jerman, hubungan antara Gereja Protestan dan Katolik termasuk paling dekat dibandingkan dengan di semua negara lain. Orang Kristen di negara itu berkeyakinan bahwa dari Jerman, Marthin Luther memulai pemisahan itu, maka dari sana pula kesadaran untuk terus berdialog dan bersatu dipelopiri. Haruskah Ratzinger menghalangi niat baik yang sudah dilakukan oleh orang-orang Jerman sendiri? Hanya Ratzinger yang bisa menjawab pertanyaan ini dalam tugas kepausannya nanti.

Masalah Turki
Yang tidak kalah pentingnya adalah sikap Ratszinger soal Turki. Paus baru itu pada saat sebagai Kardinal pernah berpendapat bahwa Turki tidak pantas bergabung ke uni Eropa. Teppat yang layak bagi Turki adalag Arab dan dunia Islam. Sebuah pendapat yang benar-benar mengesalkan bagi bangsa Turki.
“Padahal bangsa Jerman adalah pilihan terakhir bagi kami,” tulis surat kabar Radikal. Bahkan surat kabar lain dari Turki, Sabah, berani menuduh kalau Ratzinger itu tidak bedanya dengan pengikut Nazi. Sebuah tuduhan yang harus dibuktikan terbalik oleh Paus Benediktus XVI.
Masih banyak persoalan lain yang tidak bisa dirinci dalam tulisan ini. Tapi, apakah itu berarti Ratzinger memang tidak bisa keluar dari segala kepelikan persoalan itu?
Memang banyak yang meragukannya. Tapi, Paus Benediktus XVI masih memilih kesempatan untuk berbuat yang optimal. Dia seroang teolog yang hebat dan kaya pengalaman, kata Presiden AS George Bush. Apalagi nanti, dia tidak bekerja sendirian. Banyak Kardinal yang akan menemaninya. Apalagi, kalau Ratzinger benar-benar yakin kalau ‘penyelenggaraan ilahi’ akan membimbingnya, semua keraguan akan kemampuannya bakal ditepis.
Kalau 480 tahun lalu Marthin Luther berhasil mengubah wajah Gereja Katolik., kenapa Ratzinger tidak?
Penampilan gereja masih compang-camping. Paus yang ke-265 harus memikul salib itu. Tak perlu harus menunggu ancaman Yesus untuk disalibkan kedua kalinya ketika menghadapi Paus pertama, Petrus, yang akan meninggalkan umatnya di Roma yang ditindas kekejian Kaisar Nero seperti dilukiskan dalam novel Quo Vadis, Domine?(Tuan, mau ke mana?).
Inilah tantangan zaman yang harus dihadapi putera Jerman ini. Gereja memang harus berubah seperti sebuah adagium yang selalu dipegang teguh ecclesia semper reformanda. Anda bisa, Herr Ratzinger.

No comments: