Monday, January 21, 2008

Jangan Hamburkan Uang untuk Sekolah!

Abraham Runga Mali

Musim tahun ajaran baru sudah tiba. Sebagian besar orang-tua pasti bingung, mau didaftarkan ke mana putera-puterinya. Terutama bagi orang tua yang anak-anaknya baru menamatkan sekolah menengah. Soalnya, biaya pendidikan untuk sekolah tinggi saat ini sudah sangat mencekik.

Mungkin nasihat seperti di atas terkesan menekan motivasi para orang-tua yang nekat nekat hendak menyekolah anaknya di Perguruan Tinggi. Tentu saja tidak. Perspektif lain dalam melihat pendidikan berikut biayanya sengaja diangkat ke permukaan supaya Anda lebih berhati-hati.
Pertimbangan utama adalah dari sisi perencanaan keuangan. Pertama, jangan sampai biaya pendidikan yang Anda keluarkan untuk putera dan puteri Anda merusak seluruh bagan dan skema perencaan keuangan keluarga Anda. Dengana lain perkataan jangan dipaksakan kalau memang tidak mampu membaiayai mereka. Anda harus mampu menyesuaikan.

Kedua, kalau pun mampu, pilihan untuk masuk Perguruan Tinggi bukan sebuah keharusan. Bakat, keinginan dan cita-cita anak harus menjadi pertimbangan. Karena kalau di anak tidak berselera pada dunia akademis, maka masuk ke universitas atau sekolah tinggi merupakan sebuah pemborosan. “Juga harus ditanamkan wawasan bahwa kesuksesan finansial tidak bergantung pada pendidikan formal.”

Dengan dua pertimbangan di atas, bagi orang-tua, ngotot mengeluarkan biaya untuk itu merupakan sebuah pemborosan. Dan, bagi si anak yang bersangkutan, menghabiskan waktu di bangku kuliah selama lebih dari empat tahun merupakan penghamburan waktu. Akan lebih bermanfaat kalau waktu selama empat tahun itu dipakai untuk mempersiapkan diri dengan berbagai keahlian yang lebih relevan untuk kehidupannya di masyarakat nanti.

Sebuah peringatan
Kalaupun ada orang tua yang berhasil membiayai anaknya ke Perguruan Tinggi, berbagai catatan di atas bisa dipakai sebagai peringatan agar ekspektasi orang tua terhadap apa yang diperoleh anak-anaknya di Perguruan Tinggi tidak berlebihan. Apalagi setelah melihat fakta bahwa jutaan anak muda Indonesia yang tidak mendapatkan pekerjaan seusai menamatkan pendidikannya itu.

Perhatikan baik-baik data berikut ini. Ketika angkatan kerja di Indonesia mencapai 107, 08 juta tahun lalu, yang bekerja 95,89 juta dan menganggur secara terbuka bisa mencapai 11,19 juta (10,45 persen). Belum lagi kalau dihitung secara teliti untuk mereka yang menganggur secara terselubung. Konon angka pengangguran bisa bergerak naik menuju 40 juta. Dari jumlah pengangguran itu, tidak sedikit yang berasal dari kaum terpelajar, yaitu mereka yang menamatkan sekolahnya dari universitas, diploma dan akademi.

Mungkin kita tidak perlu serta merta menyalahkan sistem pendidikan formal. Tapi, juga tak ada gunanya kalau kita mengemis agar pemerintah segera memperluas kesempatan kerja dengan meningkatkan investasi di sektor riil. Bukan apa-apa, pemerintah mempunyai segudang persoalan lain yang lebih menarik dan perlu diutamakan.

Pilihan yang selektif
Dalam situasi demikian, tak ada salahnya kalau pilihan pendidikan harus diseleksi secara tepat. Carilah sekolah yang kemudian bisa langsung dipakai. Yang penting, seusai sekolah nanti Anda bisa berhasil dalam hidup. Dan dalam perspektif perencanaan keuangan, keberhasilan berarti Anda bisa mencapai kebebasan finansial. Dan soal kebebasan finansial, hampir tak ada kaitan sama sekali dengan gelar-gelar formal yang Anda dapatkan di sekolah.

Mungkin terlalu ekstrim kalau Anda kemudian menjadi antipati terhadap pendidikan formal. Walaupun pemikiran seperti itu sudah cukup jamak saat ini. Tentu Anda ingat dengan pesan ahli investasi kawakan seperti Rober T Kiyosaki bahwa kalau mau berhasil Anda harus meninggalkan sekolah.

Karena untuk urusan kebebasan finansial, demikian Kiyosaki, yang diperlukan adalah kerja keras dengan menekuni bisnis serta memanfaatkan jaringan. Kiyosaki agak bersikap sinis dengan pekerja kantoran yang biasanya ditempati oleh mereka yang selesai dari bangku kuliah. Padahal orang kantoran ini, lanjut dia, orang yang sulit untuk mencapai kebebasan finansial secara optimal. Maka jangan lama-lama menjadi orang kantoran, demikian Kiyosaki.

Begitulah paradigma Kiyosaki yang tentu sudah banyak diserap banyak orang. Tetapi, tentu saja itu tidak mutlak. Bahkan, terkesan agak berlebihan. Karena setiap orang memiliki bakat, cita-cita dan impian yang berbeda. Bukankah juga ada orang yang bisa berhasil dengan tetap menjadi karyawan.

Helmy Yahya, entertainer yang juga paham masalah keuangan itu yakin bahwa dengan menjadi karawan yang profesional orang pun bisa mencapai kebebasan finansial. Karena itu, demikian Helmy, tak usah diherani kalau dari awal orang berlomba-lomba untuk mencari sekolah favorit. Memang sekolah formal tak perlu dibenci, tetapi cukup dikritisi.

Hal yang hampir senada juga diungkapkan oleh Tri Djoko, Ketua Financial Planning Association Indonesia. Tentu saja dia sepakat bahwa perlu ada alternatif baru agar orang bisa berhasil di tengah mahalnya sekolah formal. Tapi, kata dia, sekolah formal itu tetap penting sebagai standar minimum.

Menurut dia minimal orang harus menempuh pendidikan SMA atau D3. Dia mengatakan kalau yang berhasil tidak pakai sekolah formal seperti Andre Wongso atau Om Lim Sioe Liong itu tidak banyak. “Sekali lagi itu hanya sekadar kasus yang tidak bisa berlaku untuk semua orang.”

Tri Djoko malah mengatakan kalau orang mau menekuni bisnis—salah satu cara untuk mencapai kebebasan finansial—tidak perlu berlama-lama menunggu hingga usia 24 atau 25 ketika orang selesai menamatkan pendidikan di Perguruan Tinggi. “Insting bisnis itu diperoleh lewat latihan dan pengalaman. Karena itu idealnya sejak usia 18 tahun orang sudah mulai belajar berbisnis.”

Kebebasan
Untuk sebagian orang, dana untuk pendidikan masih menjadi persoalan besar. Maka tak ada cara lain kalau kita berpaling pada semangat Paulo Freire, salah satu ahli pendidikan yang paling berwibawa saat ini tentang pentingnya pendidikan sebagai cara untuk membebaskan diri.

Mungkin dalam pengerti aslinya pembebasan yang dimaksudkan Freire lebih bermakna sosial psikologis, yaitu pebebasan dari tekanan sistem kolonial terhadap masyarakat miskin tak beruang. Walaupun Freire mesti sadar, tanpa kebebasan finansial, tak akan pembebasan sosial politis yang dicita-citakan.
Bagi Freire pendidikan non formal itu penting karena di tengah masyarakat belajar menjadi sadar dan berdialog dengan apa yang dihadapinya sehari-hari. Untuk kehidupan dewasa ini, salah satu ujung dari dialog itu uang. Kesadaran ini yang harus menjadi renungan bagi Anda menjelang tahun ajaran baru tahun ini. Hanya sayang di sekolah formal, Anda tidak diajarkan bagaimana cara kerja uang dan bagaimana mendapatkannya.

No comments: